MENYIASATI PERSOALAN
PENGGUNAAN BUKU AJAR
Agus Hamdani
(Telah dimuat pada
jurnal, Tahun 2012)
1.
Pendahuluan
Sejak diberlakukan pada tahun ajaran 2006/2007, sudah
hampir empat tahun sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah
menggunakan kurikulum mutakhir yang diberi nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan). KTSP yang sebenarnya
merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 atau KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi) ini adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan/sekolah. KTSP mengandung arti bahwa setiap sekolah dapat merancang dan
melaksanakan silabus dan kurikulumnya sendiri dengan tetap berpegang pada
Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Pengembangan KTSP harus disesuaikan dengan potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
siswa. Selain itu, pengembangan tersebut tidak boleh mengabaikan potensi daerah
dan kondisi sosial budaya setempat. Sekolah harus arif terhadap potensi yang
ada di sekitar lingkungan tempat satuan pendidikan itu berada. Oleh karena itu,
muatan lokal mendapat tempat lebih banyak dalam KTSP. Kegiatan pengajaran pun harus
lebih banyak mengandalkan data-data primer yang ada di sekeliling lokasi satuan
pendidikan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan harus dirancang oleh
sekolah atau oleh para guru secara dinamis, artinya harus dirancang sesuai dengan
kebutuhan siswa, perkembangan zaman, dan perkembangan pengetahuan. Karena perancangan KTSP dilakukan sendiri
oleh para guru maka guru pun akan memiliki kebebasan untuk menentukan buku ajar
yang akan digunakan. Dari berbagai jenis buku yang beredar di pasaran, guru
harus pandai memilih buku ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa serta sesuai
dengan kurikulum yang telah dirancangnya. Di samping itu, mereka pun harus pandai
memilih buku-buku pengayaan dan referensi untuk menunjang kegiatan
pembelajarannya, sebab dalam pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 11 tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran dikatakan bahwa ”Selain
buku teks pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1, guru dapat menggunakan
buku panduan pendidik, buku pengayaan, dan buku referensi dalam proses
pembelajaran”.
Buku ajar oleh Rusyana (1984:211)
diartikan sebagai buku pegangan pembelajar yang digunakan di sekolah untuk
menyajikan pengalaman tak langsung dalam jumlah yang banyak dan untuk menunjang
program pengajaran. Dengan menggunakan istilah buku
teks untuk istilah buku ajar ini, dalam “Dictionary of Education” (Robert,1970:605)
dinyatakan bahwa ”A text book is a book
dealing with definite subject of study systematically arranged, intended for
use at a specified level of instruction and use as a princified level of
instruction and use as a principle source of study material for a give course”.
Sesuai dengan isi kedua pengertian buku ajar ini, fungsi buku ajar dalam
kehidupan masyarakat modern, khususnya dalam pembelajaran di sekolah, sangatlah
penting. Tidak heran, bila kemudian dalam Permen
Diknas No 11 tahun 2005 dijelaskan bahwa buku ajar adalah buku acuan wajib untuk
digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan
dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan,
yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.
Dari segi kuantitas, kita patut berbangga karena telah banyak
pakar yang turut serta dalam pengadaan buku ajar. Namun, dari segi kualitas kita
patut bertanya apakah buku-buku yang menjamur di pasaran tersebut telah
memenuhi kriteria atau ciri-ciri buku ajar yang baik atau tidak. Bila memang
belum semua buku ajar memiliki kualitas yang baik, pedoman apa yang harus
diikuti guru ketika memilih dan menentukan buku ajar bagi para siswanya? Lalu,
apa yang harus dilakukan guru bila ternyata isi buku ajar yang telah dipilihnya
tidak relevan?
Berkenaan dengan uraian di atas, tulisan ini akan mencoba
menyajikan segala hal yang berhubungan dengan buku ajar, di antaranya persoalan
buku ajar, kebijakan pemerintah tentang buku ajar, cara memilih buku ajar, dan
cara menyiasati isi buku ajar yang tidak relevan.
2.
Persoalan Buku Ajar
Supriadi (2000:5) mengemukakan
bahwa selain jenisnya yang beragam, persoalan buku ajar di Indonesia sangat
kompleks. Persoalan tersebut antara lain meliputi pengadaannya yang
kompartementalistik, penilaiannya, pengedarannya, dan persoalan yang
berhubungan dengan kontribusinya terhadap prestasi belajar siswa.
Berkenaan dengan
pengadaannya, persoalan yang dihadapi adalah sulitnya menyediakan buku ajar yang
berkualitas dalam jumlah yang cukup untuk semua atau sebagian besar siswa.
Melalui Depdiknas, pemerintah akhir-akhir ini telah mencoba mengatasi persoalan
tersebut dengan membeli hak cipta puluhan buku ajar SD, SMP, dan SMA/SMK yang
telah lolos penilaian BSNP dan menyajikannya sebagai buku digital yang dapat
diunduh secara gratis di situs www.depdiknas.go.id. atau di bse.depdiknas.go.id.
Dengan adanya buku digital yang dapat dibaca dan diunduh secara gratis ini,
siswa dan sekolah punya pilihan untuk memakai buku ajar yang terjangkau
harganya dan terjamin kualitasnya. Namun, terobosan pemerintah dalam
menyediakan buku sekolah elektronik (BSE) ini masih dikeluhkan masyarakat.
Penyebabnya,
akses ke situs web BSE masih lambat dan sering gagal. Selain itu, tidak semua
siswa dan sekolah dapat menguasai cara penggunaan internet.
Berkaitan dengan
penilaiannya, persoalan yang ada adalah terjadinya penyimpangan dengan
banyaknya buku ajar yang beredar tanpa melalui penilaian dari lembaga penjamin
mutu buku. Hal ini terjadi, di samping karena ada penerbit nakal yang langsung
mengedarkan buku ajar itu, juga karena pemerintah agak kewalahan untuk menilai
semua buku ajar yang ada mengingat proses tersebut memerlukan pembiayaan besar
dan harus melibatkan para penilai yang sangat banyak, baik dari unsur guru,
ahli pembelajaran, maupun ahli materi. Selain itu, secara khusus terdapat pula
mata pelajaran yang isinya harus mendapat pertimbangan Kejaksaan Agung dan
Kepolisian Republik Indonesia.
Lembaga independen yang
sekarang ini memiliki kewenangan dalam menetapkan kelayakan buku ajar untuk
digunakan di sekolah adalah Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Sebelum lembaga ini terbentuk, penilaian kelayakan buku dilakukan oleh
Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran (PNPBP). Dalam menjalankan kinerjanya
kedua lembaga ini difasilitasi secara teknis oleh Pusat Perbukuan Depdiknas,
sebagai lembaga teknis yang secara langsung bertanggungjawab kepada Menteri
Pendidikan.
Buku ajar yang
beredar tanpa melalui proses penilaian oleh lembaga di atas diragukan
kualitasnya. Ini cukup beralasan sebab berdasarkan pengalaman Dewi
Susiloningtyas ketika menjadi anggota team penilai buku ajar tahun 2008 yang
ditugaskan oleh Pusat Perbukuan bekerja sama dengan BNSP, ia banyak sekali
mendapatkan buku ajar yang menurutnya mengandung materi yang terlalu luas dan tidak layak untuk disajikan
di buku tersebut karena tidak sesuai dengan tingkat kompetensi yang disarankan
kurikulum.
Dalam kaitan dengan
pengedarannya, persoalan yang muncul adalah beredarnya buku-buku ajar terbitan
swasta yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai buku pelengkap tetapi kenyataannya
malah dijadikan sebagai buku utama yang menggantikan buku paket. Hal ini
terjadi di antaranya karena ketersediaan buku paket yang tidak memadai. Sampai tahun
1997, rasio ideal ketersedian buku paket dan siswa di SD yang seharusnya
mencapai 1:1 baru terpenuhi dalam kisaran 1:1,6 sampai 1:6,2 (Supriadi, 2000:8).
Jumlah yang tidak memadai inilah yang dijadikan alasan oleh sekolah untuk tidak
menggunakan buku paket secara maksimal dalam pembelajaran. Alasan lainnya
adalah karena menurut sebagian besar guru, buku paket cenderung berbelit-belit,
tidak praktis, dan kurang menarik bagi siswa dan guru itu sendiri. Beberapa praktisi kepengajaran pun berpandangan bahwa banyak
buku yang diwajibkan sekolah atau pemerintah seringkali berkualitas rendah,
membosankan, atau tidak sesuai dengan kebutuhan spesifik yang diajar. Di samping itu, terjadinya konflik kepentingan antara berbagai stakeholder pendidikan seperti pemerintah,
penerbit swasta, pejabat pendidikan di daerah, perusahaan penyalur buku, toko
buku, sekolah, orang tua, dan siswa, turut pula merumitkan persoalan pengedaran
buku paket ini.
Berkaitan dengan kontribusinya
terhadap hasil belajar siswa, persoalan yang dihadapi adalah rendahnya prestasi
belajar siswa yang ditandai oleh rendahnya kemampuan siswa dalam memahami isi
bacaan dan rendahnya tingkat keterbacaan bahan bacaan yang ada pada banyak buku
ajar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Suryaman (2001) yang menyimpulkan
bahwa bahan bacaan yang ada dalam buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
SLTP kelas 2 rendah tingkat keterbacaannya dan kemampuan siswa dalam memahami
bacaan itu pun rendah. Sebelumnya, hasil yang sama sebenarnya telah ditunjukkan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Romlah Suhadi (1996) dan Idah
Rosidah(1997). Kesimpulan penelitian Romlah Suhadi mengungkapkan bahwa tingkat
keterbacaan buku paket IPA dan IPS untuk SMA di Kodya Bandung masih rendah atau
dapat dikatakan sukar dipahami oleh siswa. Sementara itu, hasil penelitian Idah
Rosidah mengungkapkan bahwa tingkat keterbacaan buku ajar bahasa Indonesia yang
digunakan di SMP Cimenyan Bandung tergolong rendah atau sukar dipahami.
Di samping persoalan-persoalan
di atas, temuan lain mengungkapkan bahwa isi buku ajar sering sekali
menyampaikan sesuatu yang bias gender. Hasil penelitian Logsdon (Suryaman, 2008)
menyimpulkan bahwa buku-buku ajar SD di Indonesia mengandung bias gender, baik
pada tataran kalimat yang dikontruksi maupun pada pemeranan gender yang harus
dilakukan siswa. Hal yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian Astuti dkk. (1999)
terhadap buku pelajaran bahasa Indonesia di SD, SLTP, dan SLTA yang
mengungkapkan bahwa kaum perempuan dalam buku ajar sering digambarkan sebagai
makhluk yang harus bekerja di sektor domestik sedangkan laki-laki adalah
makhluk yang harus bekerja di sektor publik.
3.
Buku Ajar dalam Kebijakan
Pemerintah
Mulai tahun 2003 Pusat
Perbukuan telah menetapkan buku-buku pelajaran yang memiliki kelayakan untuk digunakan
di sekolah. Namun, seiring dengan desentralisasi pendidikan, program
sosialisasi buku-buku yang memiliki kelayakan kurang mendapatkan respon yang
positif dari berbagai pihak. Sesuai dengan kewenangannya, Pusbuk hanya mensosialisasikan
hingga pemerintah provinsi. Selanjutnya pemerintah provinsi, melalui dinas pendidikan
melakukan sosialisasi ke dinas pendidikan kabupaten/kota. Secara teknis, dinas pendidikan
kabupaten/kota mensosialisasikan lanjutan kepada masyarakat di tingkat
kabupaten/kota. Namun
demikian, Pusat Perbukuan Depdiknas membuka pula akses maya melalui
http://www.sibi.or.id.
Dalam kaitan
dengan upaya menetapkan buku-buku ajar yang akan digunakan di sekolah,
berdasarkan ketentuan Permendiknas Nomor 11/2005 Pasal 7 ayat (1) seharusnya
setiap satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK) menetapkan kebijakan
mikro tingkat sekolah dengan meng-SK-kan buku-buku ajar yang akan digunakan di
sekolah tersebut dalam kurun waktu selama 5 tahun. Dengan demikian, pada satu
satuan pendidikan tidak diharapkan terjadi pergantian penggunaan buku ajar pada
setiap tahunnya.
Upaya untuk
menetapkan buku-buku ajar pada satuan pendidikan harus ditempuh melalui rapat
guru dan mendapatkan pertimbangan komite sekolah, serta dilakukan dengan cara
memilih salah satu buku ajar yang telah dinyatakan memiliki kelayakan oleh
pemerintah. Selanjutnya, setiap sekolah harus menginformasikan SK tentang
pemilihan buku ajar yang digunakan di sekolah kepada orang tua siswa. Dengan
demikian, orang tua dapat memanfaatkan penggunaan buku ajar yang masih sesuai
dengan buku yang tertuang dalam SK tadi, baik bekas saudaranya maupun dari
pihak lain. SK itu sekaligus akan mendorong regulasi penyediaan buku-buku ajar oleh
toko buku di sekitar sekolah untuk berkompetisi dalam pelayanan dan harga.
Guna mengatasi
monopoli dan praktik kurang edukatif, ketentuan Permendiknas Nomor 11/2005
Pasal 9 menyatakan bahwa sekolah, komite sekolah, guru, atau tenaga
kependidikan tidak dibenarkan melakukan penjualan buku kepada peserta didik.
Konsekuensinya, orangtua dapat dengan bebas mencari buku yang tertuang dalam SK
itu ke toko-toko buku yang kadang-kadang harganya lebih rendah daripada yang
dijual di sekolah.
Bila terdapat
sebagian orang tua tidak mampu membeli buku ajar sebagaimana yang tertuang dalam
SK kepala sekolah itu, maka hal itu tidaklah harus menjadi sebuah persoalan, sebab
dalam Permendiknas dinyatakan bahwa setiap sekolah harus menyediakan buku ajar yang
sesuai dengan SK tersebut minimal 10 eksemplar untuk setiap mata pelajaran dan
setiap tingkatan kelas dan tersedia di perpustakaan sekolah. Dengan demikian,
jika SD memiliki 9 mata pelajaran, maka idealnya di perpustakaan SD tersedia minimal
540 buku ajar yang diperuntukkan bagi murid yang tidak mampu membelinya.
Sebenarnya,
regulasi penggunaan buku ajar melalui Permendiknas Nomor 11/2005 ini telah
sangat ideal dan berpihak kepada masyarakat. Namun, kenyataannya, masih saja
terjadi penggunaan buku ajar yang berganti-ganti setiap tahun di satu satuan
pendidikan, penjualan buku oleh guru atau sekolah, penjualan buku-buku yang
belum memiliki kelayakan, serta masih banyak pula praktik-praktik yang masih
belum sesuai dengan harapan regulasi itu.
Melalui regulasi
tentang buku ajar yang dilakukan pemerintah, diharapkan semua pihak dapat
memahami kerangka dasar pembangunan bangsa secara komprehensif. Orang tua dapat
ikut berperan serta dalam mengontrol penjaminan mutu pendidikan dan dengan
mudah mengidentifikasi penanda dasar buku-buku yang telah dinyatakan memiliki
kelayakan digunakan di sekolah. Pemanfaatan buku ajar di sekolah sesuai dengan
standar pendidikan dan para guru dan tenaga kependidikan diharapkan
berkonsentrasi pada profesinya. Selain itu, pengeluaran dana masyarakat untuk
pembiayaan pendidikan diharapkan dapat menekan inflasi yang terlalu tinggi.
4.
Kriteria Memilih Buku Ajar
Sepanjang kariernya, terutama setiap pergantian
kurikulum, guru terus menerus dituntut untuk dapat memilih dan memutuskan buku ajar
yang tepat. Agar pilihan dan keputusannya ini berjalan dengan baik maka guru
harus mempertimbangkan beberapa aspek. Menurut Harmer (1998:117-119), aspek
yang harus dipertimbangkan dalam memilih buku ajar, khususnya buku ajar untuk
mata pelajaran bahasa, antara lain meliputi harga, ketersediaan, desain dan
tata letak, metodologi, keterampilan,
silabus, topik, stereotyping, dan
panduan guru. Kesembilan aspek ini, berikut pertanyaan yang harus
dipertimbangkan untuk masing-masing aspeknya, tersaji dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1.
KRITERIA MEMILIH BUKU AJAR
Aspek
|
Pertanyaan untuk Dipertimbangkan
|
1. Harga
|
Seberepa mahal buku teks tersebut? Mampukah
siswa membelinya? Apakah mereka harus membeli buku catatan sebagai
pendapingnya? Mampukah mereka membeli keduanya? Dapatkah guru membeli buku panduan
guru dan tapenya?
|
2. Ketersediaan
|
Apakah semua rangkaian pelajaran
tersedia? Adakah semua komponennya (buku siswa, buku guru, buku catatan,
dsb.) di toko sekarang? Bagaimana dengan buku untuk kelas di atasnya? Apakah
telah diterbitkan? Apakah telah
tersedia? Bagaimana tape, video, dan sebagainya?
|
3. Desain dan
Tata Letak.
|
Apakah buku itu menarik? Apakah guru merasakan
nyaman dengan buku itu? Apakah siswa menyukai buku itu? Apakah desainnya
mudah dioperasikan?
|
4. Metodologi
|
Jenis pengajaran dan pembelajaran
seperti apa yang direkomendasikan oleh
buku? Dapatkah para guru dan
siswa membangun rangkaian kesesuaian
ESA dari buku itu? Adakah perimbangan yang baik antara studi dan
aktivitas?
|
5. Keterampilan
|
Apakah buku itu meliputi empat keterampilan
(membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara) yang mencukupi? Apakah
memiliki keseimbangan yang pantas antar berbagai keterampilan? Adakah peluang
untuk studi dan aktivitas di dalam ketrampilan kerja? Pantaskah bahasa teks
membaca dan menyimaknya? Apakah tugas berbicara dan menulis menarik bagi
siswa?
|
6. Silabus
|
Apakah silabus
buku sesuai dengan siswa Anda? Apakah silabus tersebut mencakup butir-butir bahasa yang Anda harapkan?
Apakah telah sesuai dengan pesanan? Apakah teks membaca dan mendengarkan
memiliki tingkat kesukaran sebagaimana buku kemajuan?
|
7.
Topik
|
Apakah buku berisi berbagai topik?
Apakah buku itu memungkinkan untuk melibatkan minat siswa? Apakah guru memiliki
respon yang baik terhadap buku itu? Apakah
buku itu sesuai dengan budaya para siswa? Apakah buku itu untuk orang dewasa atau anak-anak?
|
8. Stereotyping
|
Apakah buku menghadirkan orang-orang
dan situasi dalam suatu cara yang sama
dan adil? Apakah berbagai kategori orang diperlakukan dengan sama? Apakah
meniru-niru kebangsaan tertentu? Apakah secara tak sadar buku itu memajang
rasisme atau sexisme?
|
9. Panduan Guru
|
Apakah panduan gurunya baik? Mudahkah
untuk digunakan? Apakah memiliki semua jawaban yang diperlukan guru? Apakah panduan
itu menawarkan alternatif bagi prosedur pelajaran? Apakah berisi suatu pernyataan
yang dirasakan dapat menggembirakan siswa dan guru?
|
Ketika
menjawab pertanyaan pada tabel di atas, guru hendaknya mengikuti empat langkah prosedur
berikut ini.
1) Analisis: Guru dapat memeriksa berbagai buku
yang ditawarkan atau dijual dengan cara menganalisis setiap jawaban atas
pertanyaan yang ada pada tabel di atas.
2) Piloting:
Cara terbaik untuk menemukan suatu kelemahan dan kekuatan buku adalah mencobanya
di suatu kelas guna melihat materi mana
yang bisa dikerjakan dan
yang tidak bisa dikerjakan oleh siswa.
Jika guru mengajar lebih dari satu
kelompok di tingkatan yang sama, maka akan lebih baik bila mencoba mengajarkan
dua buku berbeda untuk membandingkannya.
3) Konsultasi: Sebelum memilih buku, alangkah
lebih bijak bila guru berdiskusi dulu
dengan rekan kerja yang telah menggunakan buku tersebut untuk mengetahui
kualitas buku itu menurut persepsi guru lain.
4) Pengumpulan pendapat: Sebelum memilih buku, guru sebaiknya memeriksa terlebih dahulu berbagai
pendapat berharga atas buku itu, seperti pendapat dari penerbit, pemilik toko
buku, serta rekan kerja. Pendapat siswa pun sebaiknya ikut pula
dipertimbangkan. Jika siswa menyatakan
pilihan setuju maka kemungkinan mereka
akan merasa lebih terikat dengan buku ajar itu.
5.
Menyiasati Isi Buku Ajar yang Tidak
Relevan
Walaupun buku ajar
telah dipilih secara selektif, tetapi bisa saja isinya masih memiliki
kekurangan atau tidak sesuai dengan harapan guru. Untuk mengatasi hal itu, Neville
Grant (1987) dalam bukunya “Making the
Most of Your Textbook” mengemukakan empat alternatif yang dapat dilakukan
guru ketika isi buku ajarnya tidak relevan.
Pertama, mengabaikan materi pelajaran yang tidak relevan.
Mengabaikan pelajaran dari buku ajar tidaklah salah. Guru dapat melakukannya setiap waktu
dengan mengembangkan jenis pendekatan ”memilih dan memungut”. Hanya saja, jika
guru mengabaikan halaman yang sangat banyak, siswa yang telah membeli buku itu
akan penasaran mengapa mereka harus
menggunakan buku itu sebagai buku utama.
Kedua, mengganti materi pelajaran dalam
buku ajar dengan sesuatu yang telah dikuasai guru. Langkah ini memiliki
kelebihan, di antaranya materi yang dimiliki guru biasanya lebih menarik
perhatiannya dan lebih sesuai dengan kebutuhan siswa, dibandingkan dengan
materi dari buku ajar. Jika guru berurusan dengan bahasa dan topik yang sama,
siswa masih dapat menggunakan buku itu untuk meninjau kembali kosakata tertentu.
Namun, jika terlalu banyak isi buku ajar digantikan, para siswa akan bertanya-tanya mengenai kualitas
buku tersebut secara keseluruhan.
Ketiga, menambah apa yang ada di dalam buku. Jika pelajaran agak membosankan, terlalu kaku, atau tidak
memberi kesempatan kepada siswa untuk menggunakan apa yang mereka pelajari secara pribadi, guru bisa
menambahkan aktivitas dan latihan lain yang dapat meluaskan keterikatan siswa
dengan bahasa atau topiknya. Penambahan
merupakan suatu alternatif yang baik karena kekuatan yang ada dalam buku
ajar dipadukan dengan persepsi dan ketrampilan guru di depan kelas.
Keempat, mengadaptasi apa yang ada di
dalam buku ajar. Jika suatu teks bacaan di dalam buku ajar membosankan atau
guru berinisiatif untuk menggunakan materi dengan menggunakan cara guru
sendiri, maka guru dapat mengadaptasi pelajaran yang ada pada buku ajar. Dengan
kata lain, alternatif ini merupakan upaya guru untuk menggunakan bahan baku
yang sama dengan memakai gaya milik guru sendiri.
Menggunakan buku ajar
secara kreatif merupakan suatu keterampilan mengajar yang utama. Bagaimanapun
baiknya suatu materi, guru yang sangat berpengalaman tidak akan melaluinya kata
demi kata. Dia tentu akan menambah beberapa latihan dan mengadaptasikannya
dengan yang lain. Kadang-kadang, mereka menggantikan materi buku ajar dengan
gagasannya sendiri atau gagasan dari
guru dan buku lainnya. Tak jarang
ia akan menghilangkan pelajaran tertentu dari buku ajar itu sepenuhnya.
Dalam
hubungan dengan kegiatan menambahkan, mengadaptasi, dan menggantikan materi
dalam buku ajar, berikut ini akan disajikan contoh bagaimana cara seorang guru menggunakan buku ajar
secara kreatif. Contoh-contoh yang akan dikemukakan ini didasarkan pada
pendapat Jeremy Harmer (1998:112-114).
Contoh
1: Menambah
Kegiatan ini antara lain dapat
dilakukan dengan memanfaatkan daftar kosa kata yang biasanya tercantum pada
akhir buku atau akhir unit. Daftar kosa kata ini biasanya diabaikan, baik oleh
siswa maupun oleh guru. Padahal hal ini merupakan
suatu kesempatan untuk menambah apa yang disediakan buku ajar dengan cara yang
menyenangkan. Berikut ini adalah contoh daftar kosa kata materi pelajaran bahasa
yang ada pada buku ajar.
|
Melalui potongan-potongan teks statis di atas, guru dapat melakukan kegiatan dengan apa yang disebut studi kata dan permainan kata.
Kegiatan
studi kata dapat dilakukan dengan
cara guru mengajukan sejumlah pertanyaan tentang bagaimana kata-kata
dikonstruksi. Siswa dapat diminta untuk membuat daftar kata yang ditekan pada
suku kata pertama, kedua, dan ketiga. Mereka pun ditanya bagaimana berbagai
ajektif diubah ke dalam verba dan atau apakah akhiran verba diperlukan jika
diubah ke dalam ajektif. Mereka dapat diminta untuk mengidentifikasi dan
menjelaskan bagaimana pembentukan kata majemuk, seperti ”dark skinned” dan ”skin
cancer”. Dengan demikian, kegiatan ini dapat mengingatkan siswa tentang
kaidah pengaturan kata dan tata bahasanya.
Kegiatan
permainan kata dapat dilakukan dengan
cara guru menyajikan kalimat kepada siswa, kemudian siswa diminta untuk
meluaskannya dengan menggunakan kata dari daftar kata tadi dan menambahkan tata
bahasa yang diperlukan untuk kata-kata itu. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
membawa siswa menggunakan dan memainkan kata dari daftar kata yang sering
terlihat sebagai sesuatu yang tidak menarik dan membosankan.
Contoh 2: Mengadaptasi
Kegiatan
ini dilakukan bukan karena materi dalam buku ajarnya ada yang salah, melainkan
karena semata-mata ingin meningkatkan motivasi siswa, ingin menyampaikan materi
dengan cara yang variatif, atau karena guru ingin siswanya lebih menikmati kegiatan
pembelajarannya. Contoh kegiatan
penyesuaian adalah meminta siswa untuk menulis percakapan dari hasil membaca
teks yang ada pada buku ajar dan memerankannya. Guru menyimak setiap dialog yang
diucapkan siswa dengan memberi koreksi terhadap pelafalan yang salah atas
kosakata yang diucapkan siswa.
Contoh 3: Mengganti
Aktivitas
mengganti merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk mencoba dan menemukan
jenis materi pelajaran yang secara radikal berbeda. Misalnya, materi dalam buku
ajar yang digunakan menghendaki siswa untuk mempraktekkan konstruksi ‘would like’ dalam kalimat seperti 'I'd like to live in a sunny country', She'd like to live on her own',
They'd like to move to Kansas', dan sebagainya. Materi ini sangat baik,
tetapi guru misalnya khawatir ia dan para siswanya akan menemukan kebosanan. Sebagai gantinya, guru memutuskan
untuk mengkombinasikan latihan struktur yang ia miliki dan yang ingin ia
gunakan.
Pada awal
pertemuan, guru bertanya kepada siswa apakah mereka menyukai musik, dan jika
ya, jenis musik apa. Selanjutnya, guru menjelaskan kepada siswa bahwa para
siswa akan mendengarkan empat cuplikan musik berbeda dan untuk setiap cuplikannya mereka harus
melengkapi tabel berikut ini.
Warna
|
||||
Mood
|
||||
Termometer
|
||||
Dimana kamu suka mendengarnya
|
||||
Dengan siapa kamu suka mendengarnya
|
Pada kotak warna,
mereka harus menuliskan warna musik itu (hijau, merah, biru terang, dan
sebagainya). Mereka selanjutnya harus mengatakan mood musik itu (gembira, sedih, lapar) dan seterusnya.
Ketika guru telah memainkan keempat cuplikan
musik itu, siswa membandingkan jawabannya. Selanjutnya siswa diminta untuk menulis
sebuah paragraf yang menggambarkan cuplikan musik tersebut, misalnya:
Potongan musik dari Ebony Concerto adalah merah dan hitam
bagiku. Marah dan lucu terjadi dalam waktu yang sama dan itu membuatku sangat
bergairah. Saya suka mendengarnya di klab jaz. Saya pikir saya dan saudara saya
menyukainya. Saya pikir itu adalah jenis musik dia.
Jenis aktivitas
mengganti ini bila digunakan dengan efektif, sangat baik bagi guru dan siswa.
Hal itu dapat mengubah atmosfir dan sesuatu yang tidak biasa menjadi suatu hal
yang mengesankan. Siswa berlatih bahasa yang diinginkannya dari buku ajar tetapi
dalam konteks yang berbeda.
6.
Keuntungan Menggunakan Buku Ajar
Terdapat sebagian
guru yang tidak jarang memiliki opini negatif tentang buku ajar dengan
mengatakan buku ajar sering membosankan, baik bagi guru maupun bagi siswa, serta
sering tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa yang dididiknya. Guru-guru seperti itu ingin mengajar
dengan bersandar pada gagasan mereka sendiri, artikel pada surat kabar, gagasan
dari para siswa, dan berbagai sumber lain. Kritik ini bisa jadi ada benarnya
sebab tidak sedikit buku ajar yang tidak menarik perhatian dan kurang variatif.
Sementara itu,
penggunaan buku ajar yang membabi buta dengan cara menggunakan isinya sebagai satu-satunya materi
yang disajikan di dalam kelas serta selalu menggunakan gaya belajar dan
mengajar seperti yang dikatakan oleh buku akan
mengundang suatu bahaya. Dalam keadaan seperti itu, buku ajar akan menjadi
seperti suatu batu gerinda di sekitar leher semua urusan. Bagaimanapun baiknya
buku-buku itu direncanakan, bisa saja hal itu tidak sesuai dengan harapan guru
dan kebutuhan siswa.
Di samping kecemasan akan bahaya
penggunaan buku teks ini, haruslah dijelaskan bahwa siswa sering merasakan hal
yang lebih positif dari adanya buku ajar ini. Bagi siswa, buku ajar dapat menenteramkan
hati karena bisa memberi peluang kepada mereka untuk
mempersiapkan diri sebelum suatu materi pelajaran disampaikan oleh gurunya.
Selain itu, buku ajar pun dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat mengulang
pelajaran yang telah dibahas sebelumnya.
Bagi guru, buku ajar memiliki
beberapa keuntungan tersendiri. Buku ajar biasanya telah mempunyai suatu
silabus yang konsisten. Kosa kata yang digunanakannya pun telah dipertimbangkan dengan baik oleh
penulisnya. Bahkan buku ajar yang baik biasanya mempunyai materi membaca dan
mendengarkan disertai lembar kerja yang memadai, juga memiliki urutan
pembelajaran yang bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran yang
berbeda-beda. Disamping itu, buku ajar setidaknya akan mampu menjadi sumber
inspirasi bagi guru tatkala mereka kekurangan ide-ide cemerlang dalam persiapan
mengajarnya.
8. Kesimpulan
Buku ajar pada hakikatnya
berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antara penulis yang bertindak sebagai
guru dengan siswa. Komunikasi
tertulis antara penulis dengan siswa ini melahirkan proses belajar mengajar. Proses
belajar mengajar tersebut dapat terjadi di luar kelas, misalnya saat siswa
mempelajari buku teks itu di rumah. Fungsi penulis itu dapat pula dilengkapi
atau digantikan oleh guru di sekolah sehingga terjadi proses belajar mengajar
di dalam kelas.
Persoalan buku ajar di
Indonesia sangat kompleks, antara lain meliputi persoalan pengadaannya yang
kompartementalistik, penilaiannya, pengedarannya, dan persoalan yang
berhubungan dengan kontribusinya terhadap prestasi belajar siswa. Karena
rumitnya persoalan tersebut maka untuk dapat memilih buku ajar yang baik, kita
harus mempertimbangkan beberapa aspek dan pertanyaan seperti yang disarankan Jeremy
Harmer (1998). Aspek-aspek tersebut meliputi harga, ketersediaan, desain dan
tata letak, metodologi, keterampilan,
silabus, topik, stereotyping, dan
panduan guru. Kesembilan aspek ini, berikut pertanyaan yang harus
dipertimbangkannya, sebaiknya dilalui dengan mengikuti empat langkah prosedur, yakni
analisis, piloting, konsultasi dan
pengumpulan pendapat.
Kita mengakui bahwa tidak ada
buku ajar yang sempurna. Oleh karena itu, bila kita mendapatkan buku ajar yang
sebagian isi materinya tidak relevan atau tidak cocok maka kita dapat memilih
beberapa alternatif yang disarankan oleh Nevile Grant, yaitu (1) mengabaikan pelajaran yang tidak relevan itu, (2) menggantikan pelajaran dalam buku ajar dengan sesuatu yang
telah dimiliki guru, (3) menambah apa yang ada di dalam buku, dan (4) mengadaptasi apa yang ada di dalam buku ajar.
Daftar Pustaka
Astuti,
dkk. (1999). ”Bias Gender dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia”. Gender Volume 1 Nomor 1 Juli 1999.
Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.
Grant, Neville. (1987). Making the Most of Your Textbook. New York : Longman
Harmer, Jeremy. (2003). How to Teach English. Edinburgh Gate: Addison Wesley Longman
Limited
Pusat Perbukuan. (2002). Pedoman Pengembangan Standar
Perbukuan. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
-------------,
(2005). Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Rosidah,
Idah. (1997). Tingkat Keterbacaan Buku
Ajar dalam Kaitannya dengan Pemahaman Siswa. Skripsi
Sarjana Pendidikan FPBS IKIP Bandung .
Rusyana, Yus. (1984). Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan.
Bandung : CV
Diponegoro
Suhadi,
Romlah. (1996). Analisis Bahasa Buku
Paket SMA dari Segi Keterbacaan. Desertasi Doktor PPS IKIP Bandung
Supriadi,
D. (2000). Anatomi Buku Sekolah di
Indonesia: Problematika Penilaian, Penyebaran, dan Penggunaan Buku Pelajaran,
Buku Bacaan, dan Buku Sumber. Yogyakarta: Adicita.
Suryaman,
Maman. (2008). ”Analisis Gender: Perspektif dalam Penulisan Buku Teks Pelajaran”.
Jurnal Bahasa dan Sastra. Volume 8
Nomor 2 Oktober 2008. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Susiloningtyas, Dewi. (2008). Kepedulian Terhadap Buku Teks. http//www.dewi susiloningtyas’s blog.
Tarigan,
Djago. (1999). Kajian Tingkat Keterbacaan
Buku Paket “Pintar Berbahasa Indonesia
I” SLTP Kurikulum 1994. Tesis Magister Pendidikan PPS IKIP Bandung .
Tallei, (1988). Keterpaduan, Keruntutan, dan Keterbacaan Wacana Buku Pelajar Bahasa Indonesia SD.
Disertasi Doktor PPS IKIP Bandung
Utorodewo, Felicia N. (2007). Tinjauan Buku Teks Pelajaran
Bahasa Indonesia. http://www.elearning.jogya.org.
”Buku Teks ’Online’ Sudah Bisa Diakses”.
Jakarta: KOMPAS (Jumat 20 Juni 2008).