REPRESENTASI GENDER DALAM TEKS BERITA
Agus Hamdani
(Artikel ini telah dimuat pada Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 8, No.2, Oktober 2008)
Abstrak
Fokus tulisan ini berisi hasil analisis penulis
mengenai representasi gender dalam salah satu teks berita. Dengan menggunakan
model analisis wacana kritis dari Sara Mills diketahui bahwa teks berita tersebut
memiliki bias gender. Perempuan dalam teks berita itu tidak ditampilkan secara
mandiri. Kehadirannya hanya ditampilkan dalam koridor perspektif laki-laki.
Semua hal yang menyangkut dunianya diceritakan oleh laki-laki sebagai narator
tunggal. Oleh karena perempuan dalam teks berita itu berposisi sebagai objek
maka tidak mengherankan apabila semua keterangan yang menyangkut dirinya
dipresentasikan sangat buruk. Hasil analisis ini dapat dijadikan bukti bahwa
dominasi laki-laki terhadap perempuan yang berlangsung sejak lama tidak hanya
terjadi dalam tataran prilaku sosial, melainkan dapat juga terjadi dalam
tataran wacana.
Pendahuluan
Polarisasi laki-laki dan perempuan telah dimulai
sejak masa lampau. Sejak berabad-abad yang lalu perempuan selalu berada di bawah dominasi laki-laki.
Perempuan sering diperlakukan sebagai makhluk pelengkap atau dianggap sebagai
makhluk kelas dua.
Diturunkannya wahyu kepada
laki-laki dijadikan sebuah legitimasi oleh kaum Adam untuk mengkerangkakan
pola-pola pikiran manusia guna menempatkan laki-laki sebagai pusat. Hawa yang
berasal dari tulang rusuk Adam menjadi sebuah legitimasi lain bahwa perempuan
adalah makhluk kelas dua. Peristiwa tidak kuatnya iman Hawa yang kemudian
mengakibatkan Adam memetik buah kehidupan yang dilarang Tuhan oleh laki-laki
dijadikan suatu legitimasi pula yang menunjukkan bahwa perempuan adalah manusia
lemah sekaligus merupakan manusia pertama yang berbuat dosa. Dari masa ke masa
perempuan sering dianggap sebagai makhluk perayu laki-laki untuk berbuat sesat.
Atas dasar legitimasi di atas dan
adanya kelemahan biologis yang dimiliki perempuan maka perkembangan peradaban
manusia selanjutnya selalu menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior. Karena
adanya keyakinan yang juga diakui oleh Aritoteles bahwa alam tidak membekali
perempuan dengan kemampuan berpikir maka pada zaman Yunani dan Romawi perempuan
dianggap tidak memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran dan kebebasan untuk
bertindak. Oleh karena itu, pada zaman itu kehidupan perempuan hanya terbatas
di rumah saja. Pada masa kini, dalam masyarakat yang menganut sistem
kekeluargaan patriarkhat, pandangan
bahwa perempuan adalah makhuk inferior masih berlaku. Anak laki-laki selalu
dijadikan satu-satunya harapan untuk melanjutkan keturunan. Bahkan pasangan
suami istri yang tidak mempunyai keturunan atau yang hanya melahirkan anak-anak
perempuan, secara apriori oleh masyarakat penganut sistem ini sering dianggap
sebagai sebuah kesalahan dari pihak
istri atau perempuan.
Menurut Ratna (2007:184),
dalam kenyataannya hanya seks, yakni male-female
yang ditentukan secara kodrati. Sedangkan gender, yakni masculine-feminine lebih ditentukan secara kultural sebagai
pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh
karena itu, tidak heran bila faham feminis sangat menolak anggapan bahwa
perempuan merupakan konstruksi negatif, makhluk takluk, makhluk inferior, dan
makhluk kelas dua. Menurut feminisme pascamodern, baik laki-laki maupun
perempuan, keduanya bisa berkedudukan sebagai pusat dan nonpusat. Hal ini
bergantung pada posisi dan kondisinya dalam masyarakat. Melalui gerakan dan
teori feminis, kaum perempuan tidak menuntut persamaan biologis sebagai sebuah
perbedaan hakikat, melainkan menuntut agar kesadaran kultural yang selalu
memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah
keseimbangan yang dinamis.
Dominasi laki-laki terhadap
perempuan yang dimulai sejak lama ternyata tidak hanya ada dalam tataran
prilaku sosial namun juga terjadi dalam tataran wacana. Dalam banyak wacana,
perempuan sering juga dimarginalisasi oleh laki-laki yang menguasai wacana
tersebut. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis akan mencoba menyingkap
bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan itu terjadi dalam sebuah teks
wacana berita.
Konsep Gender
Kata gender
dalam Webster’s New Dictionary
(Echols dan Shadily, 1983:265) dimaknai sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Kata gender ini dalam berbagai kamus bahasa acapkali disinonimkan dengan
kata seks. Padahal kedua kata ini
memiliki makna yang berbeda. Seks mengacu kepada ciri-ciri biologis
masing-masing jenis kelamin, misalnya untuk ciri laki-laki adalah berpenis, berzakar,
dan bersperma sedangkan untuk ciri perempuan adalah berahim, bervagina, dan
memiliki alat untuk menyusui. Ciri-ciri biologis ini melekat secara permanen
dan tidak bisa diubah serta dipertukarkan karena sudah merupakan ketentuan
Tuhan yang disebut dengan kodrat. Sedangkan gender adalah suatu sifat
yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan
kultural. Misalnya, laki-laki dalam masyarakat dikenal memiliki sifat kuat,
rasional, jantan, dan perkasa, sedangkan perempuan dikenal memiliki sifat lemah
lembut, emosional, dan keibuan. Berbeda dengan ciri-ciri seks, ciri-ciri gender
ini bisa berubah dan bertukar, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah
lembut, dan keibuan, serta ada pula perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa
(Fakih, 1999:7-9). Jadi, gender bukanlah kodrat, melainkan peran yang
ditampilkan oleh budaya yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam konsep
feminim dan maskulin. Dengan rumusan lain, Darma (2007:118) menjelaskan bahwa
gender merupakan konstruksi sosiokultural atau kategori sosial (feminitas dan
maskulinitas) yang tercermin dalam prilaku, keyakinan, dan organisasi
sosial.
Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis adalah
suatu studi yang mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta
ketidakadilan yang dijalankan dan dioperasikan melalui wacana. Pusat
perhatiannya terutama adalah watak kajiannya yang bersifat emansipatoris, yakni
berpihak kepada mereka yang terpinggirkan, termarginalkan, tidak bersuara, atau
tidak diberi kesempatan untuk bersuara baik atas dasar ras, warna kulit, agama,
gender, atau kelas sosial. Analisis wacana kritis bisa juga diartikan sebagai
studi wacana yang tidak sekadar menganalisis bahasa dari aspek kebahasaan,
melainkan juga dari aspek penutur, koteks, dan konteks. Studi ini relatif baru
dan berkembang terutama sejak tahun 1970-an seiring dengan studi mengenai
struktur, fungsi, dan proses dari suatu teks.
Konsep sentral dalam analisis
wacana kritis adalah ideologi. Ideologi ini biasanya dikonstruksi oleh kelompok
dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.
Salah satu strategi yang biasa digunakannya adalah membuat kesadaran khalayak
untuk menerima dominasi itu secara taken
for granted. Berkaitan dengan hal itu, analisis wacana kritis berusaha
menyoroti dimensi wacana dari penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, dan
ketidaksetaraan dengan harapan akan terjadi perubahan lewat pemahaman yang
kritis. Oleh karena itu,
salah satu kriteria analisis wacana kritis adalah solidaritas terhadap kaum
yang terdominasi dengan cara mengkritisi elit kekuasaan yang menciptakan,
mempertahankan, melegitimasi, dan mengabaikan ketidakadilan dan ketidaksetaraan
tersebut.
Menurut Pennycook (Alwasilah,
2003) analisis wacana kritis memiliki beberapa prinsip, yaitu (1) membahas problem-problem sosial, artinya fokus
analisis wacana kritis bukan pada pemahaman bahasa semata, melainkan juga pada
berbagai karakteristik dari proses dan struktur kultural, (2) mengungkap relasi-relasi kekuasaan yang bersifat
diskursif, artinya bahwa fokus wacana sama dengan fokus bagaimana kekuasaan
dibahasakan, (3) mengungkap budaya dan masyarakat yang terwujud dalam wacana, (4)
mengidentifikasi ideologi wacana sebagai representasi dan konstruksi masyarakat
yang di dalamnya seringkali terdapat dominasi dan eksploitasi, (5) mengkaji wacana dalam konteks historisnya
dengan melihat ketersambungan dengan wacana sebelumnya. (6) menggunakan
pendekatan sosiokognitif untuk menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan teks dan
masyarakat dijalani dalam proses produksi dan pemahaman, (7) bersifat
interpretatif dan eksplanatif serta menggunakan metodologi yang sistematis
untuk menghubungkan teks dan konteksnya, (8)
merupakan sebuah paradigma saintifik yang memiliki komitmen sosial yang
terus menerus berusaha larut dan mengubah apa yang sedang terjadi dalam sebuah
konteks.
Menurut Eriyanto (2006:343) analisis
wacana kritis pada dasarnya lebih ditujukan untuk menunjukkan representasi,
yakni bagaimana seseorang, kelompok, kegiatan atau tindakan tertentu
ditampilkan. Proses ditampilkannya seseorang dalam teks itu biasanya diiringi
dengan ketidakadilan dan upaya untuk memburukkan pihak lain. Semua proses
linguistik dan strategi wacana untuk menampilkan diri sendiri secara baik dan
pihak lain secara buruk itulah yang menjadi konsentrasi utama semua model
analisis wacana kritis. Dengan demikian, analisis wacana kritis pada dasarnya
ingin memperlihatkan bagaimana pertarungan kekuasaan yang terjadi serta bagaimana
dominasi dan hegemoni antara kelompok yang dominan dengan kelompok lemah yang
ada dalam masyarakat.
Bahasa
dalam analisis wacana kritis tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral yang
bisa mengantarkan dan menghadirkan realitas seperti keadaan aslinya, melainkan
dianggap sudah terkontaminasi oleh ideologi yang membawa muatan kekuasaan
tertentu. Dengan kata lain, dalam analisis wacana
kritis bahasa ditempatkan dalam lingkup hubungannya dengan praktik sosial. Oleh
karena itu, unsur penting dalam analisis wacana kritis adalah penafsiran. Semua
elemen yang membentuk teks, baik yang terlihat secara eksplisit maupun implisit
dijadikan bahan untuk ditafsirkan. Namun demikian, fokus perhatiannya lebih
mengarah pada pesan yang tersembunyi atau pada muatan, nuansa, dan makna yang
laten yang ada dalam teks.
Sara Mills
Sara Mills adalah salah satu tokoh yang banyak menulis tentang
teori analisis wacana kritis.
Selain Sara Mills, dikenal
pula tokoh-tokoh lain, misalnya Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, Tony
Trew, Theo Van Leeuwen, Teun A. Van Dijk, Norman Fairclough. Berbeda dengan
tokoh-tokoh lain, perhatian utama Sara Mills dalam analisis wacana kritis
adalah berkaitan dengan wacana feminisme sehingga apa yang dilakukannya sering
disebut sebagai teori persfektif feminis. Fokus utama teori ini adalah untuk menunjukkan
bagaimana teks bias dalam menampilkan perempuan. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk mengenai
perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dari tulisan Sara Mills. Dengan
kata lain, titik perhatian model analisis wacana kritis Sara Mills adalah menunjukkan
bagaimana perempuan digambarkan dan dimarginalkan dalam teks, serta bagaimana
bentuk dan pola pemarginalan itu dilakukan.
Gagasan
Sara Mills dalam teori analisis wacana kritis memusatkan perhatian pada
bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam
arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek
penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna
diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain memusatkan pada posisi
aktor, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis
ditampilkan dalam teks. Posisi semacam ini akan menempatkan pembaca pada salah
satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami dan bagaimana
pula aktor sosial ini ditempatkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan
posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam teks ini membuat satu
pihak menjadi legitimate dan pihak
lain menjadi illegitimate.
Penerapan Model Sara Mills
1. Teks Berita
Berikut ini kita lihat teks
berita berjudul “Pengakuan Ahmad Dhani: Maia Selalu Minta Cerai” yang dimuat
harian Pikiran Rakyat tanggal 24 Oktober 2007. Berita ini berisi penjelasan
Ahmad Dhani tentang segala hal yang menjadi penyebab kekisruhan rumah
tangganya. Pada bagian selanjutnya, teks berita ini akan dianalisis untuk diketahui
bagaimana representasi gender yang ada di dalamnya. Adapun model analisis yang
akan diterapkan dalam tulisan ini adalah model analisis wacana kritis dari Sara
Mills.
Pengakuan
Ahmad Dhani:
Maia
Selalu Minta Cerai
Kekesalan pentolan Dewa Ahmad Dhani
terhadap istrinya Maia Estianty makin menjadi. Di dalam keterangannya, Senin di
studionya, jalan Pinang Mas I, Pondok Indah Jakarta Selatan dengan tegas Dhani
mengatakan kalau ia tak mungkin kembali ke Maia.
”Saat ini, Maia di mata saya sudah sangat hina, kemungkinan saya mau balik
itu mahal harganya bagi saya. Dan bagi saya, Maia sudah tidak sempurna menjadi seorang
wanita,” kata Dhani. Selama ini, pria berjanggut itu juga menganggap kalau Maia
telah banyak membuat fitnah terhadap dirinya.
”Maia telah banyak memfitnah saya, seperti pernikahan siri, kasus KDRT, dan
pembelian rumah untuk Mulan,” ungkap dia
tegas. Dengan tegas Dhani membantah, kalau dirinya telah melakukan tindakan
KDRT, yang selama ini selalu dijadikan alasan Maia untuk bercerai. ”Saya tidak
pernah melakukan KDRT, tapi kalau menegur memang pernah saya lakukan karena
saya larang Maia merokok di rumah dan di depan anak-anak,” tuturnya.
Menurut pria berdarah Surabaya
tersebut, fitnah yang ditunjukkan istrinya itu membuat dirinya makin
diuntungkan.’Alhamdulilah dengan seringnya saya difitnah, hidup menjadi lebih
baik. Dalilnyakan, makin sering difitnah dosa saya makin berkurang,” ucapnya.
Lebih jauh ayah tiga anak ini juga
menolak, jika rumah mantan personil Ratu, Mulan Kwok yang berada tepat d idepan
studionya adalah pemberian dirinya.” Bukan saya yang membelikan rumah itu,
rumah dan studio ini jugakan masih nyicil sebulannya Rp. 25 juta, lalu uang
dari mana saya membelikan Mulan? Rumah itu kan nggak murah harganya,” katanya
menambahkan.
Mengenai gugatan cerai yang telah
mantap dilakukan Maia, Dhani mengaku sudah siap dengan masalah itu. ”Silakan
saja Maia menggugat cerai, memang itu yang dia dambakan sejak lama, semenjak
dia pumya hubungan dengan seorang pemilik stasiun TV swasta,” ucap Dhani tanpa
menyebutkan nama pengusaha itu.
Menurut Dhani, sudah sejak
beberapa tahun Maia selalu minta diceraikan. Akan tetapi dirinya tetap
bersabar.
Saya tidak mau bercerai
karena bercerai itu dilaknat Allah dan ’dilarang’ agama. Daripada
bercerai lebih baik poligami,” katanya berseloroh. Dhani mengakui sudah
mendapat restu dari ibunya untuk menikah
lagi.
Pria kelahiran 26 Mei 1972 itu juga
tak merasa gentar dan takut kalau masalah yang menimpanya membuat dirinya
dipandang jelek oleh orang lain.
”Biar seluruh dunia memusuhi saya,
saya tidak takut. Yang penting saya masih mendapat kasih
dari ibu saya. Dan tingkah laku Maialah yang membuat saya menjadi berani untuk
berpoligami,” ujarnya.
Jika nanti benar-benar jadi
bercerai, Dhani mengakui tetap akan mempertahankan hak asuh terhadap ketiga anaknya, Al, El, dan
Dul. ”Masalah hak asuh saya akan mempertahankan mati-matian. Kan
tidak selamanya hak asuh anak itu jatuh ke tangan ibu, apalagi kalau ibunya
sudah tidak layak merawat,” Ucap Dhani.
Selain itu dalam jumpa pers yang
digelar di studionya, pemilik nama lengkap Dhani Ahmad Prasetyo juga
membeberkan dan membagikan copy-an sepuluh daftar ”dosa” yang dilakukan Maia
kepada wartawan.
Sementara itu, pihak Maia melalui
pengacaranya Sheila A. Salo, S.H. mengatakan, kalau pihaknya akan tetap
mengajukan tuntutan cerai dalam waktu dekat dan tidak mau menanggapi apa yang
diungkapkan Dhani.(A.Arief).
Sepuluh
Kesalahan Maia Versi Dhani
1.
Bertindak tidak sopan kepada orang-orang
yang dihormati oleh suami, termasuk kepada ibunda sang suami.
2.
Mengingkari ucapannya sendiri, bahwa ia
akan kembali mengurus keluarga dan anak-anaknya
3.
Melakukan perzinahan dengan pemilik TV
swasta yang telah diakuinya dan hingga hari ini tidak ada penyelesaian dan
permintaan maaf kepada sang suami.
4.
Selalu berupaya untuk memenjarakan suami
dengan berbagai dalih yang tidak ada dasarnya termasuk menuduh sang suami
melakukan KDRT.
5.
Menyampaikan kejelekan suami kepada
saudara dan orang lain bahkan sering kali didengar oleh anak-anak tentang
keinginannya untuk memenjarakan sang suami
6.
Sering kali pulang pagi dalam kondisi
mabuk minuman keras.
7.
Bersikeras menyewa rumah sendiri untuk
kepentingan sendiri meskipun sudah dilarang suami seolah-olah dirinya sudah
dicerai oleh sang suami.
8.
Menolak untuk menjadi ibu rumah tangga
yang siap mengurus rumah dan anak-anak.
9.
Sering memfitnah sang suami dengan
mengatakan kepada anak-anak bahwa ayahnya tukang main perempuan.
10. Sering
kali membawa anak-anak ke rumah kontrakkannya yang kadangkala sampai pulang pagi.
2.
Analisis
Pada berita di atas Ahmad
Dhani sepenuhnya ditempatkan sebagai subjek cerita sedangkan Maia ditempatkan
sebagai objek cerita. Penyebab kekisruhan rumah tangga pasangan artis tersebut
diketahui wartawan melalui mulut Ahmad Dhani sehingga Ahmad Dhani sepenuhnya
menjadi tukang cerita yang paling berkuasa dalam teks karena tidak mendapat
kontrol dari pihak lain, terutama dari pihak istrinya, Maia Estianty. Oleh
karena itu, pembaca pun kemungkinan besar akan menempatkan diri pada posisi
pencerita, dalam hal ini Ahmad Dhani, dan memperoleh informasi sesuai dengan
perspektif dari Ahmad Dhani. Dengan
demikian, Maia dalam teks ini sangat termarginalkan karena dia tidak memiliki
kesempatan untuk berbicara mengenai dirinya, mengenai Ahmad Dhani, dan mengenai
segala yang dinyatakan oleh Ahmad Dhani.
Karena Ahmad Dhani dalam teks ini
sepenuhnya diposisikan sebagai subjek cerita maka akibatnya sangat
menguntungkan dirinya. Dengan leluasa teks ini seakan mengajak pembaca untuk
bersimpati dan berempati terhadap Ahmad Dhani dibanding terhadap Maia. Bahkan
bisa jadi pembaca menjadi antipati terhadap Maia. Apalagi setelah Ahmad Dhani
mengungkapkan pernyataan-pernyatan berisi keburukan-keburukan istrinya selama
berumah tangga dengannya, misalnya pernyataan: ”Saat ini, Maia di mata saya sudah sangat hina. Kemungkinan saya mau
balik itu mahal harganya. Dan bagi saya, Maia sudah tidak sempurna menjadi
seorang wanita.” Pernyataan ini merupakan upaya Ahmad Dhani untuk memojokkan
istrinya. Dengan ungkapan ”Maia ...
sangat hina, dan sudah tidak
sempurna menjadi seorang wanita” Ahmad Dhani berusaha untuk membangun
pandangan jelek yang luar biasa di kalangan khalayak terhadap istrinya. Melalui
pernyataan itu, secara tidak langsung ia sebenarnya ingin mengangkat citra
dirinya sebagai lelaki yang pantas diberi empati oleh khalayak.
Maia dalam teks sama sekali
tidak bisa menampilkan dan menghadirkan dirinya sendiri. Ia hadir karena
dihadirkan dalam perspektif suaminya, Ahmad
Dhani. Oleh karena itu, siapa sebenarnya Maia hanya dapat diketahui pembaca
melalui definisi yang dikemukakan Ahmad Dhani, yakni ”Maia ... sangat hina” dan ”Maia sudah tidak sempurna menjadi seorang
wanita”.
Siapakah Ahmad Dhani menurut
Maia? Karena Maia tidak bisa menghadirkan dirinya sendiri dalam teks ini maka
definisi Ahmad Dhani dari sudut pandang Maia bersifat subjektif karena
sepenuhnya berada dalam pernyataan-pernyataan Ahmad Dhani. Hal ini tersurat
dalam pernyataan ”Maia telah banyak
memfitnah saya, seperti penikahan siri, kasus KDRT, dan pembelian rumah untuk
Mulan”. Definisi-definisi tentang Ahmad Dhani yang entah benar atau tidak
disampaikan Maia ini, sengaja dimunculkan Ahmad Dhani dengan maksud untuk
menggiring pendapat khalayak tentang dirinya
ke arah definisi yang diingininya. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan yang
dikutip langsung oleh penulis berita tersebut, yaitu ”Saya tidak pernah melakukan KDRT, tapi kalau menegur memang saya pernah
lakukan karena saya larang Maia merokok di rumah dan di depan anak” serta
pernyataan ”Bukan saya yang membelikan
rumah itu. Rumah dan studio ini saja masih nyicil sebulannya Rp 25 juta, lalu
uang dari mana saya membelikan Mulan? Rumah itu nggak murah harganya”. Karena
ia merupakan narator tunggal dalam teks berita ini, ia pun kemudian sangat
leluasa untuk memperoleh empati dan simpati pembaca dengan menyampaikan
pernyataan ”religius”-nya: ”Alhamdulillah
dengan seringnya saya difitnah, hidup menjadi lebih baik. Dalilnya kan, makin
sering difitnah dosa saya makin berkurang”.
Ketika menyinggung gugatan
cerai yang akan diajukan oleh istrinya, Ahmad Dhani kembali tampil dengan
pernyataan jantannya bahwa dia siap dengan gugatan tersebut sambil memperkuat
definisi Maia sebagai wanita hina seperti yang telah ia kemukakan sebelumnya.
Kehinaan Maia dalam pernyataan kali ini kembali dibuka dengan mengatakan bahwa
Maia memiliki hubungan dengan seorang pemilik stasiun TV swasta: ”Silakan saja Maia menggugat cerai, memang
itu yang didambakan sejak lama, semenjak dia punya hubungan dengan seorang
pemilik stasiun TV swasta”. Arogansinya sebagai lelaki yang tidak bisa
begitu saja mengalah dari pihak perempuan dalam bentuk kesediaan menceraikan
istrinya ia nyatakan dalam seloroh yang dibungkus dengan atmosfir ”religius”nya:
”Saya tidak mau bercerai karena bercerai
itu dilaknat Allah dan dilarang agama. Daripada bercerai lebih baik poligami”
Betulkah Maia seorang wanita
hina? Betulkah Maia telah menuduh suaminya nikah siri, melakukan KDRT, dan
membelikan rumah bagi Mulan? Betulkah Maia memiliki hubungan dengan seorang
pemilik TV swasta? Betulkah Maia telah meminta cerai pada suaminya sejak lama?
Pembaca tidak bisa mengetahui benar tidaknya masalah-masalah itu dari
perspektif Maia sebab teks berita ini seratus persen menggunakan Ahmad Dani
sebagai narator tunggal. Maia tidak hadir dalam teks ini sehingga ia tidak bisa
mendefinisikan dirinya sendiri serta mengakui atau menolak definisi dirinya
yang dikemukakan oleh Ahmad Dhani. Dengan demikian, secara tidak langsung teks berita
ini ingin menegaskan bahwa Maia memang bukanlah wanita yang baik dan bukanlah
istri yang baik. Maia pun bukanlah ibu yang baik sehingga tidak pantas untuk
diberi hak mengasuh anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmad Dhani:
”Masalah hak asuh saya akan
mempertahankan mati-matian. Kan tidak selamanya hak asuh anak itu jatuh ke
tangan ibu, apalagi kalau ibunya sudah tidak layak merawat.”
Semua kejelekan Maia sebagai
wanita semakin menguat setelah teks berita ini pada bagian akhir mengutip pendapat
Ahmad Dani mengenai sepuluh daftar ”dosa” yang dilakukan Maia. Oleh karena itu,
semakin sempurnalah pandangan pembaca atas kejelekan diri Maia ketika mengikuti
dan memposisikan diri dalam perspektif Ahmad Dani. Teks berita ini tidak
berusaha untuk menghadirkan Maia guna mengklarifikasi ke sepuluh daftar dosa
tersebut. Kehadiran Maia di bagian akhir teks hanya diwakili oleh pengacaranya,
Sheila A. Salo, S.H. Ia pun dihadirkan tidak
dalam posisi untuk mengakui atau membantah ke sepuluh daftar dosa tersebut,
melainkan secara tidak langsung disajikan teks untuk menguatkan kejelekan Maia
kepada pembaca karena bersikeras untuk tetap meneruskan tuntutan cerai terhadap
suaminya tanpa disertai alasan-alasan mengapa ia menuntut cerai.
Secara keseluruhan teks berita
ini sangat bias gender. Eksistensi
perempuan dalam teks ini tidak ditampilkan secara mandiri. Kehadirannya hanya ditampilkan dalam
koridor perspektif laki-laki. Semua hal yang menyangkut dunianya, terutama
dalam hubungan dengan suaminya, diceritakan oleh laki-laki sebagai narator
tunggal dalam teks berita ini. Oleh karena perempuan dalam teks ini berposisi
sebagai objek maka tidak mengherankan apabila semua keterangan yang menyangkut
dirinya dipresentasikan sangat buruk. Hal yang sebaliknya terjadi pada laki-laki.
Karena ia berposisi sebagai subjek, karena ia yang menguasai cerita, dan karena
ia berfungsi dalam teks berita ini sebagai juru warta kebenaran, maka
pencitraan laki-laki dalam teks berita ini sangat baik, seolah tanpa cela. Laki-laki
dalam teks ini bukan hanya memiliki keleluasaan mendefinisikan dirinya sendiri,
melainkan juga memiliki keleluasaan mendefinisikan dan menafsirkan perempuan berdasarkan
perspektif dan sudut pandangnya sendiri demi membangun pemaknaan khalayak atas
wanita yang didefinisikannya. Dalam dua pihak yang berseberangan ini, yaitu
laki-laki di satu pihak, dan perempuan di pihak lain, pembaca diposisikan oleh
teks ini berada di pihak laki-laki. Siapa pun dia, baik pembaca laki-laki
maupun perempuan, kemungkinan besar akan bersimpati dan berempati terhadap
laki-laki. Dengan demikian, teks ini semakin mengekalkan bias gender yang telah
mentradisi dan mengakar dalam kehidupan masyarakat kita sejak dulu.
Penutup
Realita yang ada menunjukkan
bahwa pemarginalan perempuan yang dimulai sejak lama masih berlangsung sampai
sekarang. Hal ini tidak hanya terjadi dalam tataran konsep dan prilaku sosial,
melainkan sering pula terjadi dalam tataran wacana, terutama wacana berita.
Tidak sedikit teks berita yang menghadirkan dan menggambarkan gender perempuan
secara tidak adil. Dalam teks-teks berita seperti itu, perempuan sering
ditampilkan secara tidak mandiri. Ia lebih banyak diposisikan sebagai objek
dibanding sebagai subjek. Karena berposisi sebagai objek maka perempuan tidak
memiliki kebebasan untuk menghadirkan dirinya sendiri. Akibatnya tidak jarang
gender ini direpresentasikan tidak sebagaimana mestinya, melainkan dicitrakan secara
buruk oleh laki-laki yang menguasai wacana berita tersebut.
Salah satu cara untuk
mengetahui bagaimana gender perempuan direpresentasikan dalam teks berita
adalah melalui analisis wacana kritis. Dengan analisis wacana kritis kita akan
menyadari bahwa media ternyata bukanlah
saluran yang netral yang memberitakan apa adanya sesuai dengan apa yang terjadi,
melainkan sering berfungsi sebagai alat kelompok dominan untuk menyembunyikan
marginalisasi terhadap kelompok yang tidak dominan, misalnya kelompok laki-laki
terhadap perempuan. Dengan kata lain, analisis wacana kritis dapat menyadarkan
kita tentang apa yang semula kita anggap sebagai kebenaran, ternyata mengandung
bias dengan lebih berpihak dan menyuarakan suara kelompok dominan.
Daftar Pustaka
Alwasilah,
A.C. 2004. Sosiolinguistik Sastra: Telaah
Wacana Kritis Atas Senja Di Nusantara. Jurnal UvUla: Jurnal sastra,
November 2004 vol 2 no 2.
Darma, Yoce Aliah. 2007. Model Pembelajaran Analisis Wacana Kritis
pada Cerpen Berideologi Gender. (dalam Prosiding Forum Ilmiah I dan II FPBS
UPI). Bandung :
Basen Press
Dijk, T.A. van. 1987. Discourse Analysis in Society. London : Academic Press
Inc.
Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS Pelangi
Aksara.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Análisis: the Critical Study of Language. London :Longman
Fakih, M. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Jafar, Muhammad Anis Qosim. 1998. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak
Politik dan Persoalan Gender dalam Islam). Bandung : Zaman Wacana Mulia.
Pikiran Rakyat Edisi 24 Oktober 2007.
Pengakuan Ahmad Dhani: Maia Selalu Minta
Cerai.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian sastra.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar