Jumat, 04 September 2015

MENAKAR PENGALAMAN JIWA DALAM PUISI “SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTRINYA” KARYA W.S. RENDRA


MENAKAR PENGALAMAN JIWA DALAM PUISI 

“SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTRINYA” 

KARYA W.S. RENDRA


Agus Hamdani
(Artikel ini telah dimuat pada buku kumpulan karya ilmiah Riksa Bahasa: Perspektif Pengajaran Bahasa dan Sastra,  Sekolah Pascasasrjana Universitas Pendidikan Indonesia Tahun 2008)  
  
Pendahuluan
            Puisi memiliki kecenderungan ditafsirkan pembaca atau penikmatnya secara beragam. Hal ini wajar terjadi sebab bahasa puisi sangat padat dan kompleks sehingga Ralf Waldo Emerson (Situmorang,1983:8) mengatakan bahwa puisi bersifat mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin. Tak heran bila kemudian H.B. Jassin (1953:54) pun mengatakan bahwa prosa ialah pengucapan dengan pikiran sedangkan puisi adalah pengucapan dengan perasaan.
            Mengingat sifatnya yang sangat multiinterpretatif ini maka upaya-upaya untuk menilai puisi pun menjadi sangat subjektif. H.B. Jassin (Hadimaja, 1952:12) misalnya, berusaha menyaring puisi-puisi yang diterimanya berdasarkan keindahan dan moral. Sementara itu, Hadimaja (1952:14) berpendapat bahwa baik buruknya sebuah puisi cukup dinilai dari perasaan intuitif saja. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakannya bahwa sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagi si pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian itu didapatnya, maka lebih senanglah dia.
            Kesubjektifan penilaian puisi mengakibatkan ukuran-ukuran penilaian menjadi samar dan tidak tegas. Padahal, kriteria-kriteria dasar sebagai acuan penilaian tetap harus dieksplisitkan. Lalu muncul pertanyaan: syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi supaya puisi tersebut dikatakan bernilai seni? atau: apa sajakah yang harus dinilai dalam sebuah puisi?
            Kriteria penilaian puisi tak bisa lepas dari hakikat fungsi karya sastra. Hakikat karya sastra pada prinsipnya adalah bersifat imajinatif dan estetik. Sifat estetik ini akan muncul apabila cara pengungkapan pengalaman jiwa sastrawan berhasil dengan baik sehingga dapat menyenangkan dan mengayakan batin pembaca hingga berguna bagi hidup dan kehidupannya. Itulah sebabnya maka Horace yang dikutif oleh Rene Wellek (1995:25) berkata bahwa seni (puisi) itu memiliki fungsi dulce et utile atau indah dan berguna.
            Menurut Pradopo (1988:67) dalam menilai karya sastra haruslah berpatokan pada norma-norma karya sastra. Kita tidak cukup hanya menilai isi dan bentuk karya sastra saja, melainkan harus menilai sampai sejauh mana kekuatan bunyi dapat diekspresikan pengarang, bagaimana keberhasilan dalam menyusun kata-kata atau kalimatnya, serta sampai di manakah harga atau nilai pikiran pengarang yang diungkapkan dalam karya sastra melalui norma-normanya itu.
            Mengingat bahwa puisi pada dasarnya merupakan penjelmaan pengalaman jiwa sastrawan lewat media bahasa maka hal yang tak kalah penting untuk dijadikan ukuran penilaian ialah tentang keutuhan pengalaman jiwa sastrawan yang terdapat dalam puisi tersebut. Sebagaimana kata Pradopo (1988:68) bahwa dalam menilai karya sastra (puisi) haruslah pula dilihat dari segi berhasil atau tidaknya sastrawan menjelmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Suatu karya sastra yang kian banyak memancarkan tingkat pengalaman jiwa dan merupakan suatu keutuhan akan tinggi nilainya, apalagi bila pengalaman jiwa itu sangat lengkap sehingga membuat karya sastra tersebut makin hidup dan agung.
            Berdasarkan uraian di atas, melalui tulisan ini penulis akan mencoba menganalisis dan menakar kandungan pengalaman jiwa dalam salah satu puisi karya W.S. Rendra yang berjudul ”Sajak Seorang Tua untuk Istrinya”.

Konsep Pengalaman Jiwa
            Berdasarkan ilmu jiwa modern, menurut J. Elema (Pradopo,1988:69-70) jiwa manusia beserta pengalaman jiwanya terdiri atas lima tingkatan atau lima niveau, yaituniveau anorganisniveau vegetatif, niveau animal, niveau human, dan niveau filosofis atauniveau religius.
            Niveau anorganis adalah tingkatan pengalaman jiwa yang sifatnya seperti benda mati, memiliki ukuran, dan dapat diindera. Bila terjelma ke dalam puisi maka tingkatan anorganis ini pada umumnya akan berupa bentuk formal puisi seperti larik, bait, pola bunyi, irama, kalimat, ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya.
            Niveau vegetatif adalah tingkatan pengalaman jiwa berupa suasana yang dibangun oleh gerak hidup seperti tumbuh-tumbuhan. Misalnya, kalau musim bunga suasana yang ditimbulkan adalah romantis, menyenangkan, atau menggembirakan. Kalau musim gugur suasana yang ditimbulkan berupa suasana menyedihkan, tragis, dan keputusasaan. Bila terjelma ke dalam puisi maka akan berupa suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian kata-kata atau kalimatnya seperti suasana romantis, tragis, tenang, gembira, gelisah, damai, khusuk, marah, dan sebagainya.
            Niveau animal adalah tingkatan pengalaman jiwa seperti yang tercapai oleh binatang berupa nafsu-nafsu jasmaniah. Bila terjelma ke dalam puisi maka akan berupa gambaran nafsu-nafsu naluriah seperti nafsu membunuh, nafsu seksual, rasa lapar, rasa haus, serta rangsangan pada kesadaran jasmani hingga dapat menimbulkan tanggapan yang kongkret.
            Niveau human adalah tingkatan pengalaman jiwa yang hanya bisa dicapai dan dirasakan oleh manusia berupa perasaan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, perasaan kasih sayang, perasaan untuk saling membantu atau bergotong royong, dan sebagainya. Kalau terjelma ke dalam puisi maka akan berupa rasa belas kasihan, perasaan simpatik, perasaan benci, perasaan cinta, konflik-konflik kejiwaan, dan sebagainya.
       Niveau filosofis atau niveau religius adalah tingkatan pengalaman jiwa yang dialami manusia apabila dalam keadaan berdoa, berdzikir, sembahyang, juga pada waktu merenungkan hakikat sesuatu, misalnya hakikat dunia, hakikat hidup dan kehidupan, dan sebagainya. Bila terjelma ke dalam puisi maka akan berupa renungan-renungan batin atau renungan-renungan filsafat tentang hakikat sesuatu seperti hakikat manusia atau hakikat hubungan manusia dengan Tuhan.
        Niveau anorganis, niveau vegetatif dan niveau animal ketiganya merupakan tingkatan pengalaman jiwa bersifat jasmaniah sedangkan niveau human dan niveau filosofisbersifat rohaniah. Menurut Pradopo (1988), puisi yang baik dan bernilai seni adalah puisi yang mampu menyajikan kedua sifat tersebut sekaligus sebab bila puisi hanya menampilkan pengalaman jiwa tingkat pertama, kedua, dan ketiga  saja maka hanya akan berupa karangan yang bersifat merangsang nafsu jasmaniah atau keindraan belaka. Sebaliknya, puisi yang hanya memncarkan pengalaman jiwa tingkat ke empat dan ke lima kurang bernilai sastra sebab hanya akan bersifat seperti pidato, naskah khotbah, atau karangan ilmiah.

Pengalaman Jiwa dalam Puisi ”Sajak Seorang Tua untuk Istrinya”

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTRINYA
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarahk ehidupan
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup,
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra
serta mencipta dan mengukir dunia
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas
Bukanlah demi sorga atau neraka
Tetapi demi kehormatan seorang manusia

Kerna sesungguhnya kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibeli nafas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenanglah pula,
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara
Bukan karena senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok.
Kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang dewa

(Rendra, Masmur Mawar)

             Pengalaman jiwa tingkat anorganis telah tercapai puisi ini. Hal ini tampak jelas dari adanya pembagian bait yang sesuai dengan isi pikiran yang diusungnya, adanya pembagian larik yang mengena, adanya pola bunyi yang khas, serta adanya gaya bahasa yang segar dan orsinil.
            Puisi ini sangat kaya akan kombinasi kata, kalimat atau ungkapan yang filosofis. Semua itu menjadi lebih impresif karena disajikan lewat gaya bahasa yang orsinil, puitis, dan ekspresif.
            Pada bait kedua terdapat ungkapan /Suka duka kita bukanlah istimewa/ kerna setiap orang mengalaminya/. Pernyataan ini begitu sederhana namun sebenarnya memiliki makna yang mendalam. Banyak orang yang mengagung-agungkan masa lalunya karena telah mencapai suatu prestasi yang gemilang sehingga teramat bahagia atau ada pula yang menyesali masa lalu tersebut karena selalu berada dalam kenestapaan. Kedua hal itu sebenarnya tak perlu dibuat istimewa atau diratapi secara berlebihan karena sebenarnya banyak di antara orang lain yang mengalaminya, bahkan lebih dari itu. Jadi, sebenarnya /Suka duka kita bukanlah istimewa/.
            Penyair menyadari adanya hukum alam bahwa setiap manusia pada akhirnya akan dimakan waktu sehingga fisiknya akan reyot, tua renta, serta penuh dengan kekelabuan hidup. Namun demikian, semua itu bukanlah suatu alasan untuk berserah diri sebagai orang yang tak berguna atau tak berharga lagi sebab /Kita adalah kepribadian/ dan harga kita adalah kehormatan kita/. Ungkapan yang terdapat pada bait ke lima ini mengandung nilai filosofis. Sebuah keyakinan bahwa penghargaan terhadap manusia tidak bisa diukur atas kenyataan fisik yang dimilikinya, melainkan didasarkan pada ”struktur dalam” atau kepribadian yang terpancar dari struktur fisik itu.
            Pada bait ke tiga terdapat kalimat: /Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh/. Jadi, meratapi kenestapaan yang menimpa masa lalu bukanlah suatu sikap jantan. Begitupun dengan sikap yang selalu menyesali kegagalan yang dihadapi. Setiap manusia seharusnya menyadari bahwa apa yang sudah terjadi pada masa lalu hanyalah sarana untuk bernostalgia saja tanpa perlu menjadi pesimis pada masa yang akan dijalaninya. Bila orang yakin bahwa /Hidup adalah untuk mengolah hidup/ maka ia dengan sendirinya akan merasa optimis dengan segala rencana dan upaya-upaya yang telah dirancangnya guna menyongsong masa depan dengan penuh gemilang.
            Pengalaman jiwa tingkat ke dua, yakni niveau vegetatif telah berhasil pula disajikan penyair dalam puisinya ini dengan baik. Hal ini terasa dengan hadirnya suasana-suasana yang terpancar dari jalinan kata-kata berupa gaya bahasa-gaya bahasa yang orsinil dan khas sesuai dengan maksud dan tema yang diusungnya, yakni kebermaknaan nilai-nilai hehidupan.
            Suasana yang dibangun puisi ini terasa begitu kuat. Pada larik 1 sampai dengan 12 suasana romatis, tenang, dan damai tercipta karena penyair membujuk istrinya untuk membalik-balik atau mengenang kembali lembaran kehidupan perkawinan mereka. Dengan penuh rasa syukur penyair mengajak istrinya: /kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang/ sambil mengajak untuk merenungkan: /Dan juga masa depan kita/ yang hampir rampungdan dengan lega akan kita lunaskan/. Lewat ungkapan filosofis yang dikemas dalam suasana romantis, penyair berusaha untuk menghibur istrinya sekaligus menghibur dirinya sendiri yang telah dilanda keloyoan dan kerentaan hari tua: /Kita tidaklah sendiri/dan terasing dengan nasib kitakerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan/. Oleh karenanya tidak ada yang perlu dirisaukan sebab /Suka duka kita bukanlah istimewa/kerna setiap orang mengalaminya/.
            Pada larik 13 sampai dengan 39 suasana haru, melankolis, dan kesenduan mewarnai puisi ini. Penyair menyampaikan pesan terhadap istrinya agar dapat menyikapi dengan yakin bahwa /Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh/ Hidup adalah untuk mengolah hidup/ atas dasar keyakinan bahwa sebenarnya /Kita menyandang tugas/ karena tugas adalah tugas/. Penyair pun mencoba untuk memahami kenyataan yang menimpa dirinya, yakni /...kita telah reyot, tua renta dan kelabu/. Namun ia pun yakin bahwa walau telah reyot /Kita adalah kepribadian/ dan harga kita adalah kehormatan kita/. Suasana sendu dan melankolis tercipta karena adanya kenyataan bahwa penyair dan istrinya telah sampai pada suasana senja kehidupannya. Namun ia berusaha melumasinya dengan cara menjangkau nostalgia /Tolehlah lagi ke belakang/ ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya/ Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna/ Sembilan puluh tahun yang dibeli nafas kita/, /Dan kenanglah pula/ Bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa/ menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita/.
            Pada larik 40 sampai dengan 49 suasana melankolis dan sendu semakin menghebat. Walaupun pada bagian ini terbayang arogansi individual yang penuh optimisme namun semua itu sebenarnya hanyalah untuk menyelubungi serpihan-serpihan duka yang makin menggema di lubuk hatinya. Dengan keanggunan yang dikemas dalam cita rasa artistik, gema optimisme berwajah ganda tersaji: /Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warnaKenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak koma/ namun demikian /Kita menjadi goyah dan bongkokKerna usia nampaknya lebih kuat dari kita/ yang disoraki dengan sikap jantan artifisial: /tapi bukan kerna kita telah terkalahkan/.
            Pengalaman jiwa tingkat ke tiga yaitu niveau animal pun tercapai puisi ini. Hal ini terpancar dari banyaknya ungkapan atau kalimat yang mampu menimbulkan rangsangan kepada kesadaran jasmani sehingga memungkinkan untuk bisa ditanggapi secara kongkret dan seolah-olah dapat diindera. Adapun ungkapan yang demikian itu antara lain: aku tulis sajak ini, bekerja membalik tanah, memasuki rahasia langit dan samodra, mencipta dan mengukir dunia, tolehlah lagi ke belakang, bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa, kita menjadi goyah dan bongkok. Semua ungkapan itu penuh dengan imaji visual dan imaji gerak. Sementara itu, kata atau ungkapan yang mampu merangsang penginderaan yang sangat jelas di antaranya: membalik tanah, langit, samodra, mengukir dunia, debu, bumi, kedok, dan sebagainya.
            Sekarang kita beralih untuk membicarakan pengalaman jiwa tingkat ke empat, yaituniveau human.
            Niveau human dalam puisi ini sebenarnya tak perlu diragukan lagi ketercapaiannya sebab isi puisi ini sejak awal sampai akhir selalu diwarnai oleh pengalaman jiwa tingkat ini.
            Penyair berusaha untuk menghibur istrinya yang sudah renta yang notabene sebenarnya menghibur dirinya juga agar mengenang kembali masa remajanya yang gemilang dan merenungkan masa depannya yang hampir rampung. Dengan kerentaan yang menimpa mereka ia berharap agar istrinya mampu untuk menyikapinya dengan bijaksana karena hal itu sudah merupakan suatu hukum sejarah kehidupan. Dengan demikian, sikap mengeluh dan mengaduh seharusnya tak perlu terjadi. Harga manusia sebenarnya bukan terletak pada kenyataan fisik yang dimilikinya, melainkan terletak pada kepribadiannya. Oleh karenanya, kesadaran akan merapuhnya fisik termakan waktu bukanlah suatu alasan yang kuat untuk menyampaikan diri tanpa guna. Sebagai suatu sikap sebenarnya manusia tidak boleh mengenal batas keropos. Pernyataan ini semakin diperkuat penyair dengan munculnya suatu sikap yang agak arogan dan penuh optimisme seperti yang tersurat pada bait berikut:

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenanglah bahwa kita telah selalu menolak koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok.
Kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

            Bila kita cermati, pernyataan di atas sebenarnya memiliki makna ganda yang kontradiktif. Di permukaan tersurat rasa optimisme yang kuat namun di dalamnya tersirat suatu kesenduan berupa serpihan-serpihan duka yang menggema di ruang hatinya. Bagaimana pun juga penyair adalah manusia biasa yang tak bisa dusta dari perasaan hatinya yang paling dalam.
Sampailah sekarang untuk membicarakan pengalaman jiwa yang tertinggi, yakni niveau filosofios atau nioveau religius.
            Pada bagian awal telah dijelaskan bahwa puisi ini banyak mengandung ungkapan-ungkapan atau kalimat-kalimat yang bernada filosofis. Walaupun pengungkapannya sederhana namun mengandung bobot yang esensial, seperti yang terdapat pada bait ke dua dan ke tiga: /Suka duka kita bukanlah istimewakerna setiap orang mengalaminya/, /Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduhHidup adalah untuk mengolah hidup/ serta pada bait ke empat: /Kita adalah kepribadiandan harga kita adalah kehormatan kita/. Dengan demikian, sangat jelas bahwa sebenarnya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan suatu renungan penyair tentang tentang hakikat sesuatu. Yang menjadi pertanyaan sekarang ialah apakah puisi ini telah mampu menjangkau niveau religius, yakni suatu renungan tentang hakikat hubungan manusia dengan Tuhan?
           Walaupun tidak dominan, sebenarnya kesadaran penyair dalam kaitannya dengan Maha Pencipta masih tergambar jelas, seperti dalam larik: /Tetapi kerna senyum adalah suatu sikap/ Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama/ nasib, dan kehidupan/. Melalui larik ini penyair menyadari bahwa sikap manusia  tidak bisa lepas dari keterhubungannya dengan Tuhan sebagai penciptanya. Dengan menggunakan kata dewa, kesadaran tentang adanya hubungan dengan Tuhan itu kemudian dikuatkan lagi pada larik penutup: /Sementara kau kenangkan encokmu/ kenangkanlah pula/ bahwa kita ditantang dewa/.

Penutup
            Berdasarkan uraian di atas, nyatalah bahwa puisi ”Sajak Seorang Tua untuk Istrinya” karya W.S. Rendra ini telah memenuhi semua tingkatan pengalaman jiwa. Pengalaman jiwa tersebut begitu lengkap dan jelas tergambar lewat pembeberannya yang menarik, ekspresif, dan sugestif. Dengan demikian, puisi tersebut telah mampu memenuhi dalil-dalil seni sastra yang dikemukakan J. Elema bahwa puisi mempunyai nilai seni apabila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata dan pengalaman jiwa itu makin tinggi nilainya bila isinya kuat, lengkap, dan dapat meliputi keutuhan jiwa.
            Dilihat dari fungsi karya sastra menurut Horace, yakni dulce et utile ternyata bahwa puisi ini pun telah mampu memenuhinya. Puisi tersebut cukup menyenangkan untuk dibaca atau dinikmati sekaligus memiliki bobot pengalaman jiwa yang cukup pekat yang diharapkan berguna bagi wawasan dan pemahaman pembaca, khususnya tentang pentingnya kearifan dan kebermaknaan nilai-nilai kehidupan. Dengan kata lain, dilihat dari keutuhan pengalaman jiwa, puisi ini telah cukup memenuhi kriteria untuk dapat dikatakan sebagai puisi bernilai seni.

Daftar Pustaka

  • Achmadi, Muksin, 1983. Strategi Belajar mengajar Keterampilan Berbahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta:P2LPTK
  • Gani, Rizanur, 1980. Pengajaran Apresiasi Puisi.  Jakarta: P3G Departemen P dan K.
  • Hadimaja, Aoh Karta. 1952. Beberapa Faham Angkatan 45. Jakarta: Tintamas.
  • Jassin, H.B. 1953. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
  • Kennedy, K.Y. 1996. An Introduction To Poetry. Boston: Little Brown and Company.
  • Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Lukman.
  • Rendra, W. S. 1961. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: PT Pembangunan
  • Situmorang, B. P. 1983. Puisi dan Metodologi Pengajarannya. Ende-Flores: Nusa Indah.
  • Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
  • Wellek, Rene dan Austin Warren (Terjemahan Melani Budianta). 1995. Teori Kesuasastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

6 komentar:

  1. Keren...dalem banget...terimakasih ilmunya pak

    BalasHapus
  2. Terima kasih pa Dr. Tambahan ilmu lagi untuk saya

    BalasHapus
  3. Masya Allah Baarokalloh, tetap berbagi terus ilmunya,Pak🙏🤗☺️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah membaca tulisan kecil saya ini, Bu Eneng. Semoga, he.

      Hapus