Rabu, 02 September 2015

REPRESENTASI GENDER DALAM TEKS BERITA


REPRESENTASI GENDER DALAM TEKS BERITA

Agus Hamdani

(Artikel ini telah dimuat pada Jurnal Bahasa dan Sastra  Vol. 8, No.2, Oktober 2008)

Abstrak
            Fokus tulisan ini berisi hasil analisis penulis mengenai representasi gender dalam salah satu teks berita. Dengan menggunakan model analisis wacana kritis dari Sara Mills diketahui bahwa teks berita tersebut memiliki bias gender. Perempuan dalam teks berita itu tidak ditampilkan secara mandiri. Kehadirannya hanya ditampilkan dalam koridor perspektif laki-laki. Semua hal yang menyangkut dunianya diceritakan oleh laki-laki sebagai narator tunggal. Oleh karena perempuan dalam teks berita itu berposisi sebagai objek maka tidak mengherankan apabila semua keterangan yang menyangkut dirinya dipresentasikan sangat buruk. Hasil analisis ini dapat dijadikan bukti bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan yang berlangsung sejak lama tidak hanya terjadi dalam tataran prilaku sosial, melainkan dapat juga terjadi dalam tataran wacana.

Pendahuluan
            Polarisasi laki-laki dan perempuan telah dimulai sejak masa lampau. Sejak berabad-abad yang lalu perempuan selalu berada di bawah dominasi laki-laki. Perempuan sering diperlakukan sebagai makhluk pelengkap atau dianggap sebagai makhluk kelas dua.
Diturunkannya wahyu kepada laki-laki dijadikan sebuah legitimasi oleh kaum Adam untuk mengkerangkakan pola-pola pikiran manusia guna menempatkan laki-laki sebagai pusat. Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam menjadi sebuah legitimasi lain bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua. Peristiwa tidak kuatnya iman Hawa yang kemudian mengakibatkan Adam memetik buah kehidupan yang dilarang Tuhan oleh laki-laki dijadikan suatu legitimasi pula yang menunjukkan bahwa perempuan adalah manusia lemah sekaligus merupakan manusia pertama yang berbuat dosa. Dari masa ke masa perempuan sering dianggap sebagai makhluk perayu laki-laki untuk berbuat sesat.
Atas dasar legitimasi di atas dan adanya kelemahan biologis yang dimiliki perempuan maka perkembangan peradaban manusia selanjutnya selalu menempatkan perempuan sebagai makhluk inferior. Karena adanya keyakinan yang juga diakui oleh Aritoteles bahwa alam tidak membekali perempuan dengan kemampuan berpikir maka pada zaman Yunani dan Romawi perempuan dianggap tidak memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran dan kebebasan untuk bertindak. Oleh karena itu, pada zaman itu kehidupan perempuan hanya terbatas di rumah saja. Pada masa kini, dalam masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patriarkhat,  pandangan bahwa perempuan adalah makhuk inferior masih berlaku. Anak laki-laki selalu dijadikan satu-satunya harapan untuk melanjutkan keturunan. Bahkan pasangan suami istri yang tidak mempunyai keturunan atau yang hanya melahirkan anak-anak perempuan, secara apriori oleh masyarakat penganut sistem ini sering dianggap sebagai  sebuah kesalahan dari pihak istri atau perempuan.
Menurut Ratna (2007:184), dalam kenyataannya hanya seks, yakni male-female yang ditentukan secara kodrati. Sedangkan gender, yakni masculine-feminine lebih ditentukan secara kultural sebagai pengaturan kembali infrastruktur material dan superstruktur ideologis. Oleh karena itu, tidak heran bila faham feminis sangat menolak anggapan bahwa perempuan merupakan konstruksi negatif, makhluk takluk, makhluk inferior, dan makhluk kelas dua. Menurut feminisme pascamodern, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya bisa berkedudukan sebagai pusat dan nonpusat. Hal ini bergantung pada posisi dan kondisinya dalam masyarakat. Melalui gerakan dan teori feminis, kaum perempuan tidak menuntut persamaan biologis sebagai sebuah perbedaan hakikat, melainkan menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan yang dimulai sejak lama ternyata tidak hanya ada dalam tataran prilaku sosial namun juga terjadi dalam tataran wacana. Dalam banyak wacana, perempuan sering juga dimarginalisasi oleh laki-laki yang menguasai wacana tersebut. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis akan mencoba menyingkap bagaimana dominasi laki-laki terhadap perempuan itu terjadi dalam sebuah teks wacana berita.

Konsep Gender
            Kata gender dalam Webster’s New Dictionary (Echols dan Shadily, 1983:265) dimaknai sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Kata gender ini dalam berbagai  kamus bahasa acapkali disinonimkan dengan kata seks. Padahal kedua kata ini memiliki makna yang berbeda. Seks mengacu kepada ciri-ciri biologis masing-masing jenis kelamin, misalnya untuk ciri laki-laki adalah berpenis, berzakar, dan bersperma sedangkan untuk ciri perempuan adalah berahim, bervagina, dan memiliki alat untuk menyusui. Ciri-ciri biologis ini melekat secara permanen dan tidak bisa diubah serta dipertukarkan karena sudah merupakan ketentuan Tuhan yang disebut dengan kodrat.       Sedangkan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya, laki-laki dalam masyarakat dikenal memiliki sifat kuat, rasional, jantan, dan perkasa, sedangkan perempuan dikenal memiliki sifat lemah lembut, emosional, dan keibuan. Berbeda dengan ciri-ciri seks, ciri-ciri gender ini bisa berubah dan bertukar, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, serta ada pula perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa (Fakih, 1999:7-9). Jadi, gender bukanlah kodrat, melainkan peran yang ditampilkan oleh budaya yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam konsep feminim dan maskulin. Dengan rumusan lain, Darma (2007:118) menjelaskan bahwa gender merupakan konstruksi sosiokultural atau kategori sosial (feminitas dan maskulinitas) yang tercermin dalam prilaku, keyakinan, dan organisasi sosial.     
           
Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis adalah suatu studi yang mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan yang dijalankan dan dioperasikan melalui wacana. Pusat perhatiannya terutama adalah watak kajiannya yang bersifat emansipatoris, yakni berpihak kepada mereka yang terpinggirkan, termarginalkan, tidak bersuara, atau tidak diberi kesempatan untuk bersuara baik atas dasar ras, warna kulit, agama, gender, atau kelas sosial. Analisis wacana kritis bisa juga diartikan sebagai studi wacana yang tidak sekadar menganalisis bahasa dari aspek kebahasaan, melainkan juga dari aspek penutur, koteks, dan konteks. Studi ini relatif baru dan berkembang terutama sejak tahun 1970-an seiring dengan studi mengenai struktur, fungsi, dan proses dari suatu teks.
Konsep sentral dalam analisis wacana kritis adalah ideologi. Ideologi ini biasanya dikonstruksi oleh kelompok dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi yang biasa digunakannya adalah membuat kesadaran khalayak untuk menerima dominasi itu secara taken for granted. Berkaitan dengan hal itu, analisis wacana kritis berusaha menyoroti dimensi wacana dari penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan dengan harapan akan terjadi perubahan lewat pemahaman yang kritis. Oleh karena itu, salah satu kriteria analisis wacana kritis adalah solidaritas terhadap kaum yang terdominasi dengan cara mengkritisi elit kekuasaan yang menciptakan, mempertahankan, melegitimasi, dan mengabaikan ketidakadilan dan ketidaksetaraan tersebut.
Menurut Pennycook (Alwasilah, 2003) analisis wacana kritis memiliki beberapa prinsip, yaitu (1)  membahas problem-problem sosial, artinya fokus analisis wacana kritis bukan pada pemahaman bahasa semata, melainkan juga pada berbagai karakteristik dari proses dan struktur kultural, (2)  mengungkap relasi-relasi kekuasaan yang bersifat diskursif, artinya bahwa fokus wacana sama dengan fokus bagaimana kekuasaan dibahasakan, (3) mengungkap budaya dan masyarakat yang terwujud dalam wacana, (4) mengidentifikasi ideologi wacana sebagai representasi dan konstruksi masyarakat yang di dalamnya seringkali terdapat dominasi dan eksploitasi, (5)  mengkaji wacana dalam konteks historisnya dengan melihat ketersambungan dengan wacana sebelumnya. (6) menggunakan pendekatan sosiokognitif untuk menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan teks dan masyarakat dijalani dalam proses produksi dan pemahaman, (7) bersifat interpretatif dan eksplanatif serta menggunakan metodologi yang sistematis untuk menghubungkan teks dan konteksnya, (8)  merupakan sebuah paradigma saintifik yang memiliki komitmen sosial yang terus menerus berusaha larut dan mengubah apa yang sedang terjadi dalam sebuah konteks.
Menurut Eriyanto (2006:343) analisis wacana kritis pada dasarnya lebih ditujukan untuk menunjukkan representasi, yakni bagaimana seseorang, kelompok, kegiatan atau tindakan tertentu ditampilkan. Proses ditampilkannya seseorang dalam teks itu biasanya diiringi dengan ketidakadilan dan upaya untuk memburukkan pihak lain. Semua proses linguistik dan strategi wacana untuk menampilkan diri sendiri secara baik dan pihak lain secara buruk itulah yang menjadi konsentrasi utama semua model analisis wacana kritis. Dengan demikian, analisis wacana kritis pada dasarnya ingin memperlihatkan bagaimana pertarungan kekuasaan yang terjadi serta bagaimana dominasi dan hegemoni antara kelompok yang dominan dengan kelompok lemah yang ada dalam masyarakat.
            Bahasa dalam analisis wacana kritis tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral yang bisa mengantarkan dan menghadirkan realitas seperti keadaan aslinya, melainkan dianggap sudah terkontaminasi oleh ideologi yang membawa muatan kekuasaan tertentu. Dengan kata lain, dalam analisis wacana kritis bahasa ditempatkan dalam lingkup hubungannya dengan praktik sosial. Oleh karena itu, unsur penting dalam analisis wacana kritis adalah penafsiran. Semua elemen yang membentuk teks, baik yang terlihat secara eksplisit maupun implisit dijadikan bahan untuk ditafsirkan. Namun demikian, fokus perhatiannya lebih mengarah pada pesan yang tersembunyi atau pada muatan, nuansa, dan makna yang laten yang ada dalam teks.

Sara Mills
Sara Mills adalah salah satu tokoh yang banyak menulis tentang teori analisis wacana kritis. Selain Sara Mills, dikenal pula tokoh-tokoh lain, misalnya Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, Tony Trew, Theo Van Leeuwen, Teun A. Van Dijk, Norman Fairclough. Berbeda dengan tokoh-tokoh lain, perhatian utama Sara Mills dalam analisis wacana kritis adalah berkaitan dengan wacana feminisme sehingga apa yang dilakukannya sering disebut sebagai teori persfektif feminis. Fokus utama teori ini adalah untuk menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan perempuan. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk mengenai perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dari tulisan Sara Mills. Dengan kata lain, titik perhatian model analisis wacana kritis Sara Mills adalah menunjukkan bagaimana perempuan digambarkan dan dimarginalkan dalam teks, serta bagaimana bentuk dan pola pemarginalan itu dilakukan.
            Gagasan Sara Mills dalam teori analisis wacana kritis memusatkan perhatian pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain memusatkan pada posisi aktor, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Posisi semacam ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami dan bagaimana pula aktor sosial ini ditempatkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain menjadi illegitimate.

Penerapan  Model Sara Mills
1.    Teks Berita
Berikut ini kita lihat teks berita berjudul “Pengakuan Ahmad Dhani: Maia Selalu Minta Cerai” yang dimuat harian Pikiran Rakyat tanggal 24 Oktober 2007. Berita ini berisi penjelasan Ahmad Dhani tentang segala hal yang menjadi penyebab kekisruhan rumah tangganya. Pada bagian selanjutnya, teks berita ini akan dianalisis untuk diketahui bagaimana representasi gender yang ada di dalamnya. Adapun model analisis yang akan diterapkan dalam tulisan ini adalah model analisis wacana kritis dari Sara Mills.

Pengakuan Ahmad Dhani:
Maia Selalu Minta Cerai
            Kekesalan pentolan Dewa Ahmad Dhani terhadap istrinya Maia Estianty makin menjadi. Di dalam keterangannya, Senin di studionya, jalan Pinang Mas I, Pondok Indah Jakarta Selatan dengan tegas Dhani mengatakan kalau ia tak mungkin kembali ke Maia.
”Saat ini, Maia di mata saya sudah sangat hina, kemungkinan saya mau balik itu mahal harganya bagi saya. Dan bagi saya,  Maia sudah tidak sempurna menjadi seorang wanita,” kata Dhani. Selama ini, pria berjanggut itu juga menganggap kalau Maia telah banyak membuat fitnah terhadap dirinya.
”Maia telah banyak memfitnah saya, seperti pernikahan siri, kasus KDRT, dan pembelian rumah untuk Mulan,”  ungkap dia tegas. Dengan tegas Dhani membantah, kalau dirinya telah melakukan tindakan KDRT, yang selama ini selalu dijadikan alasan Maia untuk bercerai. ”Saya tidak pernah melakukan KDRT, tapi kalau menegur memang pernah saya lakukan karena saya larang Maia merokok di rumah dan di depan anak-anak,” tuturnya.
            Menurut pria berdarah Surabaya tersebut, fitnah yang ditunjukkan istrinya itu membuat dirinya makin diuntungkan.’Alhamdulilah dengan seringnya saya difitnah, hidup menjadi lebih baik. Dalilnyakan, makin sering difitnah dosa saya makin berkurang,” ucapnya.
            Lebih jauh ayah tiga anak ini juga menolak, jika rumah mantan personil Ratu, Mulan Kwok yang berada tepat d idepan studionya adalah pemberian dirinya.” Bukan saya yang membelikan rumah itu, rumah dan studio ini jugakan masih nyicil sebulannya Rp. 25 juta, lalu uang dari mana saya membelikan Mulan? Rumah itu kan nggak murah harganya,” katanya menambahkan.
            Mengenai gugatan cerai yang telah mantap dilakukan Maia, Dhani mengaku sudah siap dengan masalah itu. ”Silakan saja Maia menggugat cerai, memang itu yang dia dambakan sejak lama, semenjak dia pumya hubungan dengan seorang pemilik stasiun TV swasta,” ucap Dhani tanpa menyebutkan nama pengusaha itu.
            Menurut Dhani, sudah sejak beberapa tahun Maia selalu minta diceraikan. Akan tetapi dirinya tetap bersabar.
            Saya tidak mau bercerai karena bercerai itu dilaknat Allah dan ’dilarang’ agama. Daripada bercerai lebih baik poligami,” katanya berseloroh. Dhani mengakui sudah mendapat restu dari ibunya untuk  menikah lagi.
            Pria kelahiran 26 Mei 1972 itu juga tak merasa gentar dan takut kalau masalah yang menimpanya membuat dirinya dipandang jelek oleh orang lain.
            ”Biar seluruh dunia memusuhi saya, saya tidak takut. Yang penting saya masih mendapat kasih dari ibu saya. Dan tingkah laku Maialah yang membuat saya menjadi berani untuk berpoligami,” ujarnya.
            Jika nanti benar-benar jadi bercerai, Dhani mengakui tetap akan mempertahankan  hak asuh terhadap ketiga anaknya, Al, El, dan Dul. ”Masalah hak asuh saya akan mempertahankan mati-matian. Kan tidak selamanya hak asuh anak itu jatuh ke tangan ibu, apalagi kalau ibunya sudah tidak layak merawat,” Ucap Dhani.
            Selain itu dalam jumpa pers yang digelar di studionya, pemilik nama lengkap Dhani Ahmad Prasetyo juga membeberkan dan membagikan copy-an sepuluh daftar ”dosa” yang dilakukan Maia kepada wartawan.
            Sementara itu, pihak Maia melalui pengacaranya Sheila A. Salo, S.H. mengatakan, kalau pihaknya akan tetap mengajukan tuntutan cerai dalam waktu dekat dan tidak mau menanggapi apa yang diungkapkan Dhani.(A.Arief).

Sepuluh Kesalahan Maia Versi Dhani
1.      Bertindak tidak sopan kepada orang-orang yang dihormati oleh suami, termasuk kepada ibunda sang suami.
2.      Mengingkari ucapannya sendiri, bahwa ia akan kembali mengurus keluarga dan anak-anaknya
3.      Melakukan perzinahan dengan pemilik TV swasta yang telah diakuinya dan hingga hari ini tidak ada penyelesaian dan permintaan maaf kepada sang suami.
4.      Selalu berupaya untuk memenjarakan suami dengan berbagai dalih yang tidak ada dasarnya termasuk menuduh sang suami melakukan  KDRT.
5.      Menyampaikan kejelekan suami kepada saudara dan orang lain bahkan sering kali didengar oleh anak-anak tentang keinginannya untuk memenjarakan sang suami
6.      Sering kali pulang pagi dalam kondisi mabuk minuman keras.
7.      Bersikeras menyewa rumah sendiri untuk kepentingan sendiri meskipun sudah dilarang suami seolah-olah dirinya sudah dicerai oleh sang suami.
8.      Menolak untuk menjadi ibu rumah tangga yang siap mengurus rumah dan anak-anak.
9.      Sering memfitnah sang suami dengan mengatakan kepada anak-anak bahwa ayahnya tukang main perempuan.
10.  Sering kali membawa anak-anak ke rumah kontrakkannya yang kadangkala  sampai pulang pagi.   

2.    Analisis
Pada berita di atas Ahmad Dhani sepenuhnya ditempatkan sebagai subjek cerita sedangkan Maia ditempatkan sebagai objek cerita. Penyebab kekisruhan rumah tangga pasangan artis tersebut diketahui wartawan melalui mulut Ahmad Dhani sehingga Ahmad Dhani sepenuhnya menjadi tukang cerita yang paling berkuasa dalam teks karena tidak mendapat kontrol dari pihak lain, terutama dari pihak istrinya, Maia Estianty. Oleh karena itu, pembaca pun kemungkinan besar akan menempatkan diri pada posisi pencerita, dalam hal ini Ahmad Dhani, dan memperoleh informasi sesuai dengan perspektif  dari Ahmad Dhani. Dengan demikian, Maia dalam teks ini sangat termarginalkan karena dia tidak memiliki kesempatan untuk berbicara mengenai dirinya, mengenai Ahmad Dhani, dan mengenai segala yang dinyatakan oleh Ahmad Dhani.
Karena Ahmad Dhani dalam teks ini sepenuhnya diposisikan sebagai subjek cerita maka akibatnya sangat menguntungkan dirinya. Dengan leluasa teks ini seakan mengajak pembaca untuk bersimpati dan berempati terhadap Ahmad Dhani dibanding terhadap Maia. Bahkan bisa jadi pembaca menjadi antipati terhadap Maia. Apalagi setelah Ahmad Dhani mengungkapkan pernyataan-pernyatan berisi keburukan-keburukan istrinya selama berumah tangga dengannya, misalnya pernyataan: ”Saat ini, Maia di mata saya sudah sangat hina. Kemungkinan saya mau balik itu mahal harganya. Dan bagi saya, Maia sudah tidak sempurna menjadi seorang wanita.” Pernyataan ini merupakan upaya Ahmad Dhani untuk memojokkan istrinya. Dengan ungkapan ”Maia ... sangat hina, dan sudah tidak sempurna  menjadi seorang wanita”  Ahmad Dhani berusaha untuk membangun pandangan jelek yang luar biasa di kalangan khalayak terhadap istrinya. Melalui pernyataan itu, secara tidak langsung ia sebenarnya ingin mengangkat citra dirinya sebagai lelaki yang pantas diberi empati oleh khalayak.
Maia dalam teks sama sekali tidak bisa menampilkan dan menghadirkan dirinya sendiri. Ia hadir karena dihadirkan dalam perspektif  suaminya, Ahmad Dhani. Oleh karena itu, siapa sebenarnya Maia hanya dapat diketahui pembaca melalui definisi yang dikemukakan Ahmad Dhani, yakni ”Maia ... sangat hina” dan  ”Maia sudah tidak sempurna menjadi seorang wanita”.
Siapakah Ahmad Dhani menurut Maia? Karena Maia tidak bisa menghadirkan dirinya sendiri dalam teks ini maka definisi Ahmad Dhani dari sudut pandang Maia bersifat subjektif karena sepenuhnya berada dalam pernyataan-pernyataan Ahmad Dhani. Hal ini tersurat dalam pernyataan ”Maia telah banyak memfitnah saya, seperti penikahan siri, kasus KDRT, dan pembelian rumah untuk Mulan”. Definisi-definisi tentang Ahmad Dhani yang entah benar atau tidak disampaikan Maia ini, sengaja dimunculkan Ahmad Dhani dengan maksud untuk menggiring pendapat khalayak tentang  dirinya ke arah definisi yang diingininya. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan yang dikutip langsung oleh penulis berita tersebut, yaitu ”Saya tidak pernah melakukan KDRT, tapi kalau menegur memang saya pernah lakukan karena saya larang Maia merokok di rumah dan di depan anak” serta pernyataan ”Bukan saya yang membelikan rumah itu. Rumah dan studio ini saja masih nyicil sebulannya Rp 25 juta, lalu uang dari mana saya membelikan Mulan? Rumah itu nggak murah harganya”. Karena ia merupakan narator tunggal dalam teks berita ini, ia pun kemudian sangat leluasa untuk memperoleh empati dan simpati pembaca dengan menyampaikan pernyataan ”religius”-nya: ”Alhamdulillah dengan seringnya saya difitnah, hidup menjadi lebih baik. Dalilnya kan, makin sering difitnah dosa saya makin berkurang”.
Ketika menyinggung gugatan cerai yang akan diajukan oleh istrinya, Ahmad Dhani kembali tampil dengan pernyataan jantannya bahwa dia siap dengan gugatan tersebut sambil memperkuat definisi Maia sebagai wanita hina seperti yang telah ia kemukakan sebelumnya. Kehinaan Maia dalam pernyataan kali ini kembali dibuka dengan mengatakan bahwa Maia memiliki hubungan dengan seorang pemilik stasiun TV swasta: ”Silakan saja Maia menggugat cerai, memang itu yang didambakan sejak lama, semenjak dia punya hubungan dengan seorang pemilik stasiun TV swasta”. Arogansinya sebagai lelaki yang tidak bisa begitu saja mengalah dari pihak perempuan dalam bentuk kesediaan menceraikan istrinya ia nyatakan dalam seloroh yang dibungkus dengan atmosfir ”religius”nya: ”Saya tidak mau bercerai karena bercerai itu dilaknat Allah dan dilarang agama. Daripada bercerai lebih baik poligami
Betulkah Maia seorang wanita hina? Betulkah Maia telah menuduh suaminya nikah siri, melakukan KDRT, dan membelikan rumah bagi Mulan? Betulkah Maia memiliki hubungan dengan seorang pemilik TV swasta? Betulkah Maia telah meminta cerai pada suaminya sejak lama? Pembaca tidak bisa mengetahui benar tidaknya masalah-masalah itu dari perspektif Maia sebab teks berita ini seratus persen menggunakan Ahmad Dani sebagai narator tunggal. Maia tidak hadir dalam teks ini sehingga ia tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri serta mengakui atau menolak definisi dirinya yang dikemukakan oleh Ahmad Dhani. Dengan demikian, secara tidak langsung teks berita ini ingin menegaskan bahwa Maia memang bukanlah wanita yang baik dan bukanlah istri yang baik. Maia pun bukanlah ibu yang baik sehingga tidak pantas untuk diberi hak mengasuh anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmad Dhani: ”Masalah hak asuh saya akan mempertahankan mati-matian. Kan tidak selamanya hak asuh anak itu jatuh ke tangan ibu, apalagi kalau ibunya sudah tidak layak merawat.”
Semua kejelekan Maia sebagai wanita semakin menguat setelah teks berita ini pada bagian akhir mengutip pendapat Ahmad Dani mengenai sepuluh daftar ”dosa” yang dilakukan Maia. Oleh karena itu, semakin sempurnalah pandangan pembaca atas kejelekan diri Maia ketika mengikuti dan memposisikan diri dalam perspektif Ahmad Dani. Teks berita ini tidak berusaha untuk menghadirkan Maia guna mengklarifikasi ke sepuluh daftar dosa tersebut. Kehadiran Maia di bagian akhir teks hanya diwakili oleh pengacaranya, Sheila A. Salo, S.H. Ia pun dihadirkan tidak  dalam posisi untuk mengakui atau membantah ke sepuluh daftar dosa tersebut, melainkan secara tidak langsung disajikan teks untuk menguatkan kejelekan Maia kepada pembaca karena bersikeras untuk tetap meneruskan tuntutan cerai terhadap suaminya tanpa disertai alasan-alasan mengapa ia menuntut cerai.
Secara keseluruhan teks berita ini sangat bias gender. Eksistensi perempuan dalam teks ini tidak ditampilkan secara mandiri. Kehadirannya hanya ditampilkan dalam koridor perspektif laki-laki. Semua hal yang menyangkut dunianya, terutama dalam hubungan dengan suaminya, diceritakan oleh laki-laki sebagai narator tunggal dalam teks berita ini. Oleh karena perempuan dalam teks ini berposisi sebagai objek maka tidak mengherankan apabila semua keterangan yang menyangkut dirinya dipresentasikan sangat buruk. Hal yang sebaliknya terjadi pada laki-laki. Karena ia berposisi sebagai subjek, karena ia yang menguasai cerita, dan karena ia berfungsi dalam teks berita ini sebagai juru warta kebenaran, maka pencitraan laki-laki dalam teks berita ini sangat baik, seolah tanpa cela. Laki-laki dalam teks ini bukan hanya memiliki keleluasaan mendefinisikan dirinya sendiri, melainkan juga memiliki keleluasaan mendefinisikan dan menafsirkan perempuan berdasarkan perspektif dan sudut pandangnya sendiri demi membangun pemaknaan khalayak atas wanita yang didefinisikannya. Dalam dua pihak yang berseberangan ini, yaitu laki-laki di satu pihak, dan perempuan di pihak lain, pembaca diposisikan oleh teks ini berada di pihak laki-laki. Siapa pun dia, baik pembaca laki-laki maupun perempuan, kemungkinan besar akan bersimpati dan berempati terhadap laki-laki. Dengan demikian, teks ini semakin mengekalkan bias gender yang telah mentradisi dan mengakar dalam kehidupan masyarakat kita sejak dulu.

Penutup
Realita yang ada menunjukkan bahwa pemarginalan perempuan yang dimulai sejak lama masih berlangsung sampai sekarang. Hal ini tidak hanya terjadi dalam tataran konsep dan prilaku sosial, melainkan sering pula terjadi dalam tataran wacana, terutama wacana berita. Tidak sedikit teks berita yang menghadirkan dan menggambarkan gender perempuan secara tidak adil. Dalam teks-teks berita seperti itu, perempuan sering ditampilkan secara tidak mandiri. Ia lebih banyak diposisikan sebagai objek dibanding sebagai subjek. Karena berposisi sebagai objek maka perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menghadirkan dirinya sendiri. Akibatnya tidak jarang gender ini direpresentasikan tidak sebagaimana mestinya, melainkan dicitrakan secara buruk oleh laki-laki yang menguasai wacana berita tersebut.
Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana gender perempuan direpresentasikan dalam teks berita adalah melalui analisis wacana kritis. Dengan analisis wacana kritis kita akan menyadari  bahwa media ternyata bukanlah saluran yang netral yang memberitakan apa adanya sesuai dengan apa yang terjadi, melainkan sering berfungsi sebagai alat kelompok dominan untuk menyembunyikan marginalisasi terhadap kelompok yang tidak dominan, misalnya kelompok laki-laki terhadap perempuan. Dengan kata lain, analisis wacana kritis dapat menyadarkan kita tentang apa yang semula kita anggap sebagai kebenaran, ternyata mengandung bias dengan lebih berpihak dan menyuarakan suara kelompok dominan.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A.C. 2004. Sosiolinguistik Sastra: Telaah Wacana Kritis Atas Senja Di Nusantara. Jurnal UvUla: Jurnal sastra, November 2004 vol 2 no 2.
Darma, Yoce Aliah. 2007. Model Pembelajaran Analisis Wacana Kritis pada Cerpen Berideologi Gender. (dalam Prosiding Forum Ilmiah I dan II FPBS UPI). Bandung: Basen Press
Dijk, T.A. van. 1987. Discourse Analysis in Society. London: Academic Press Inc.
Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Análisis: the Critical Study of Language. London:Longman
Fakih, M. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jafar, Muhammad Anis Qosim. 1998. Perempuan dan Kekuasaan (Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam). Bandung: Zaman Wacana Mulia.
Pikiran Rakyat Edisi 24 Oktober 2007. Pengakuan Ahmad Dhani: Maia Selalu Minta Cerai.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar